FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA
Penulis : Rifan Adi Nugraha
NIM : 23310410029
Deni Abrian tidak pernah menyangka bahwa memimpin Karang
Taruna "Muda Berkarya" akan membuatnya mempertanyakan prinsip-prinsip
yang selama ini ia pegang erat. Di matanya, organisasi kepemudaan itu bukan
sekadar wadah kegiatan, tetapi cerminan nilai dan semangat generasi muda untuk
hidup lebih sehat, aktif, dan bertanggung jawab.
Sejak awal kepemimpinannya, Deni bertekad menjauhkan Karang
Taruna dari segala bentuk promosi yang merugikan, terutama iklan rokok. Ia
sering menyuarakan bahwa anak muda seharusnya menjadi pionir gaya hidup sehat,
bukan korban dari industri yang mengedepankan keuntungan semata. Namun, keyakinan
itu diuji pada suatu persiapan acara besar: perayaan Hari Kemerdekaan 17
Agustus.
Saat itu, panitia kebingungan karena dana dari RT sangat
terbatas. Proposal ke berbagai perusahaan belum mendapat tanggapan. Sementara
itu, waktu terus berjalan dan warga sudah menantikan lomba dan panggung hiburan
yang meriah. Dalam situasi genting itu, tawaran bantuan datang dari perusahaan
rokok lokal. Mereka bersedia mendanai hampir seluruh kebutuhan acara, asal logo
mereka ditampilkan di spanduk dan kaos panitia.
Deni terdiam lama saat rapat. Dalam hatinya, terjadi
pertarungan hebat. Ia tahu menerima sponsor itu berarti melanggar prinsip
pribadinya. Tapi ia juga sadar, menolak berarti acara bisa gagal atau berjalan
seadanya, mengecewakan banyak pihak, termasuk anak-anak yang antusias menanti
perlombaan.
Akhirnya, dengan berat hati, Deni menyetujui tawaran itu. Ia
mencoba menenangkan pikirannya, mengatakan pada diri sendiri bahwa ini demi
kebaikan bersama. "Setidaknya anak-anak tetap bisa bahagia. Tahun depan
kita pasti bisa cari alternatif yang lebih sehat," batinnya.
Namun, perasaan bersalah tidak mudah hilang. Setiap kali
melihat spanduk besar bertuliskan nama perusahaan rokok itu tergantung di balai
RW, ada bagian dari dirinya yang terasa hampa. Ia mulai mempertanyakan apakah
keputusan itu benar-benar tepat, atau sekadar bentuk kompromi yang merusak
idealismenya.
Beberapa minggu setelah acara selesai, Deni mengajukan
usulan dalam rapat bulanan Karang Taruna: tahun depan, pencarian sponsor harus
dimulai jauh lebih awal dan diprioritaskan dari sumber-sumber yang sejalan
dengan nilai organisasi. Usul itu disambut baik oleh para anggota, dan Deni
merasa sedikit lega.
Pengalaman itu mengajarkan satu hal penting: kadang dalam
menjalankan peran sosial, seseorang harus berdamai dengan kenyataan yang tidak
ideal. Tapi dari ketegangan itulah, kesadaran akan nilai sejati justru semakin
menguat. Deni kini tahu, disonansi antara pikiran dan tindakan bukanlah akhir,
tapi pintu menuju perubahan.

0 komentar:
Posting Komentar