3.5.25

ESSAI 2_WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF_NAWANG APRILIANO_22310410136

WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI

Essai 2 

Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA



Nawang Apriliano Tegar Saputra (22310410136)

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta


  Disonansi kognitif adalah suatu kondisi psikologis di mana seseorang mengalami ketegangan atau ketidaknyamanan karena memiliki dua atau lebih pemikiran, sikap, atau keyakinan yang saling bertentangan, terutama ketika perilaku seseorang tidak sejalan dengan apa yang mereka yakini atau ketahui.

    Contoh paling umum adalah perokok yang tahu bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, tetapi tetap melakukannya. Ketegangan batin akibat konflik tersebut mendorong individu untuk mencari pembenaran, mengubah keyakinan, atau mengubah perilaku agar tercapai konsistensi dan mengurangi rasa tidak nyaman.

     Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger pada tahun 1957 dalam teorinya tentang bagaimana manusia berusaha menjaga konsistensi antara pikiran dan tindakan.

Pada hari Rabu, 30 April 2025 saya melakukan wawancara dengan teman sekampung saya berinisial AB, untuk mengetahui Disonansi Kognitif.


Saya: Selamat malam mas. Bisa ceritakan sejak kapan Anda mulai merokok?

AB: Selamat malam mas. Saya mulai merokok sejak SMA saat usia 18 tahun, jadi sudah sekitar 6 tahun.


Saya: Apakah Anda tahu bahwa merokok memiliki dampak buruk bagi kesehatan?

AB: Ya, tentu. Saya tahu merokok bisa menyebabkan kanker, penyakit jantung, dan masalah paru-paru dan ada penyakit lainnya.

 

Saya: Lalu, mengapa Anda masih terus merokok meski mengetahui risiko tersebut?

AB: Yah... itu memang agak membingungkan. Saya sering berpikir untuk berhenti, tapi merokok membantu saya rileks dan menenangkan pikiran. Jadi setiap asap yang saya keluarkan itu merupakan stress yang saya buang,

 

Saya: Apakah Anda merasa bersalah setiap kali merokok?

AB: Sering sih, apalagi kalau habis batuk atau lihat iklan bahaya rokok. Tapi anehnya, itu malah bikin saya tambah stres... dan akhirnya merokok lagi.

 

Saya: Itu menunjukkan adanya disonansi kognitif, konflik antara keyakinan dan tindakan Anda. Apakah Anda pernah mencoba menyelesaikan konflik itu?

AB: Saya pernah coba berhenti beberapa kali. Kadang saya juga mencoba mengurangi, bilang ke diri sendiri kalau “Saya tidak seburuk itu, banyak orang lain yang merokok lebih banyak.”

 

Saya: Menurut Anda, apa yang paling sulit dari meninggalkan rokok?

AB: Mungkin kebiasaan dan rasa nyaman yang saya rasakan. Saya tahu saya harus berhenti, tapi saya belum siap kehilangan teman ngopi ini, meskipun saya tahu dia merusak saya.


     Dari percakapanwawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa AB mengalami disonansi kognitif, yaitu ketegangan psikologis akibat konflik antara pengetahuan (merokok itu berbahaya) dan perilaku (tetap merokok). Untuk mengurangi ketegangan itu, AB mencari pembenaran, dengan mengatakan bahwa merokok membantu mengurangi stres atau bahwa ada orang lain yang merokok lebih parah. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan yang tidak hanya informatif, tetapi juga emosional dan psikologis dalam membantu seseorang mengubah kebiasaan merokok.

     Untuk membantu perokok seperti AB yang mengalami disonansi kognitif, diperlukan pendekatan yang menyeluruh dan berfokus pada aspek psikologis serta lingkungan sosial. Salah satu langkah efektif adalah dengan memberikan konseling atau terapi perilaku kognitif guna membantu individu menyadari dan mengelola konflik antara pengetahuan akan bahaya merokok dan kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Selain itu, menciptakan lingkungan yang mendukung, seperti komunitas berhenti merokok dan dukungan dari keluarga atau teman dekat, dapat memberikan motivasi tambahan. Mengalihkan kebiasaan merokok ke aktivitas yang lebih sehat seperti olahraga, meditasi, atau hobi juga penting agar perokok tidak merasa kehilangan “pelarian” dari stres. Penyampaian informasi tentang bahaya rokok sebaiknya dilakukan secara emosional dan relevan, bukan sekadar menyampaikan data medis. Terakhir, pendekatan bertahap dalam mengurangi konsumsi rokok, disertai pendampingan profesional, dapat membantu proses berhenti merokok menjadi lebih realistis dan berkelanjutan.

Lampiran pada saat wawancara dengan teman:



Daftar Pustaka:

Arundati, S. (2025). Psikologi Inovasi. Materi Kuliah Psikologi Inovasi, Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar