6.5.25

ESSAI 2_PSIKOLOGI INOVASI_WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF_AJENG WINDA ADHITA 23310410061

 

ESSAI 2

PSIKOLOGI INOVASI
WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF

 

Fakultas Psikologi Univeritas Proklamasi 45

Ajeng Winda Adhita  (22310410061)

Dosen Pengampu: Dr., Dra. Arundati Shinta, MA




Tema wawancara : Perempuan, Peran Ganda, dan Kekuatan di Balik Dilema

Di era modern seperti sekarang, perempuan semakin banyak yang terjun ke dunia kerja. Mereka tidak hanya berperan sebagai istri atau ibu, tetapi juga sebagai profesional di bidangnya. Banyak dari mereka yang sukses membangun karier, menjadi pemimpin, atau memegang tanggung jawab besar di kantor. Namun, di balik itu semua, ada satu hal yang sering tidak banyak dibicarakan: konflik peran yang mereka hadapi sehari-hari.

Konflik peran ini bukan hanya tentang membagi waktu, tapi juga soal perjuangan batin. Bagaimana tidak? Di satu sisi, ada keinginan untuk berkembang, mandiri secara ekonomi, dan mewujudkan impian pribadi. Tapi di sisi lain, ada tuntutan dari keluarga, pasangan, dan masyarakat agar perempuan tetap menjalankan peran tradisionalnya. Ketika dua hal itu bertabrakan, muncullah apa yang dalam psikologi disebut disonansi kognitif ketegangan batin akibat adanya ketidaksesuaian antara nilai yang diyakini dengan tindakan yang dilakukan.

Untuk memahami lebih dalam mengenai bagaimana perempuan muda menghadapi konflik ini, saya melakukan wawancara dengan Dini, seorang perempuan berusia 27 tahun yang baru saja menikah dan sedang bekerja di perusahaan swasta di Yogyakarta.

Wawancara: Konflik Peran antara Karier dan Keluarga

Pewawancara ajeng  (P): Terima kasih sudah bersedia ngobrol hari ini. Boleh kenalan dulu, mungkin sedikit tentang aktivitas dan latar belakang kamu?

Dini (N): Ya, terima kasih juga sudah mengundang. Saya Dini, usia 27 tahun. Saat ini saya bekerja sebagai staf keuangan di sebuah perusahaan swasta di Yogyakarta. Saya juga baru menikah tahun lalu, jadi bisa dibilang masih menyesuaikan diri antara peran sebagai istri dan sebagai pekerja.

P: Wah, selamat ya atas pernikahannya. Nah, kami tertarik ngobrol tentang bagaimana kamu menjalani dua peran itu. Apa yang kamu rasakan sejak menjalani kehidupan berkeluarga sambil tetap bekerja?

N: Awalnya sih saya optimis. Saya pikir semuanya bisa berjalan lancar. Tapi kenyataannya, memang tidak sesederhana itu. Pekerjaan kadang menyita waktu dan tenaga, sementara di rumah juga ada tanggung jawab baru sebagai istri. Ada ekspektasi yang datang dari kantor, dari pasangan, dan juga dari keluarga besar. Kadang saya merasa lelah secara emosional.

P: Kalau boleh tahu, apa bentuk konflik paling terasa yang kamu alami?

N: Salah satu contohnya, saya pernah diminta ikut pelatihan luar kota selama 5 hari. Dari sisi karier itu bagus banget, karena bisa jadi jalan naik jabatan. Tapi suami saya agak berat melepas saya pergi selama itu, apalagi saat itu kami baru dua bulan menikah. Saya jadi bingung antara mengejar peluang atau menjaga keharmonisan. Saya sempat merasa bersalah, seperti mengecewakan salah satu pihak kalau memilih yang lain.

P: Situasi seperti itu pasti membuat kamu berpikir keras. Apa yang kamu lakukan saat itu?

N: Saya akhirnya berdiskusi terbuka dengan suami. Saya jelaskan bahwa pelatihan ini bukan sekadar tugas, tapi investasi karier saya ke depan. Syukurnya, setelah bicara dari hati ke hati, dia bisa memahami. Tapi tetap saja, waktu saya berangkat, perasaan tidak enak itu masih ada. Kayak ada “tabrakan batin” antara peran sebagai istri dan sebagai pribadi yang ingin berkembang.

P: Apa kamu menyebut itu sebagai bentuk disonansi juga?

N: Ya, saya rasa begitu. Meskipun berbeda dengan disonansi kognitif seperti di teori psikologi, tapi saya merasa ada ketidaksesuaian antara apa yang saya yakini—bahwa perempuan berhak berkembang di dunia kerja—dengan kenyataan bahwa ada harapan-harapan budaya dan keluarga yang kadang tidak sejalan. Akhirnya, saya sering merasa bersalah, meskipun keputusan saya sudah rasional.

P: Menurut kamu, apa penyebab utama perempuan sering mengalami konflik seperti ini?

N: Saya rasa karena kita hidup dalam masyarakat yang masih sering memberikan label tertentu kepada perempuan. Kita dituntut menjadi istri yang baik, anak yang berbakti, pekerja yang profesional, dan kadang semua itu dalam waktu bersamaan. Kalau tidak hati-hati, kita bisa merasa gagal terus-menerus, padahal sebenarnya kita sudah melakukan yang terbaik.

P: Apa kamu pernah merasa ingin menyerah dan memilih salah satu peran saja?

N: Pernah. Kadang saya mikir, “Apa lebih baik saya resign saja dan fokus ke rumah?” Tapi lalu saya ingat, saya juga punya impian pribadi. Saya ingin punya kehidupan yang mandiri secara ekonomi, bisa membantu orang tua, dan bisa menjadi contoh untuk adik perempuan saya. Jadi, saya tetap bertahan, tapi sambil belajar mengatur ritme.

P: Apa strategi atau pelajaran terbesar yang kamu dapat selama menjalani dua peran ini?

N: Yang paling penting adalah komunikasi yang jujur dan terbuka dengan pasangan dan orang-orang di sekitar. Lalu, belajar berkata “cukup.” Nggak semua hal harus sempurna. Rumah boleh agak berantakan, pekerjaan kadang terlambat sedikit, tapi selama saya tahu prioritas saya, itu sudah cukup. Saya juga mulai memberi ruang untuk diri sendiri—self-care itu penting supaya nggak burnout.

P: Kalau ada perempuan lain yang sedang mengalami hal serupa, apa pesan yang ingin kamu sampaikan?

N: Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kita tidak bisa menyenangkan semua orang, tapi kita bisa membuat keputusan yang selaras dengan nilai dan tujuan hidup kita. Jadilah fleksibel, bukan perfeksionis. Dan jangan takut meminta bantuan. Kita tidak harus menjadi “superwoman” sendirian.

P: Terima kasih banyak, Dini, atas kejujurannya dan waktunya. Semoga pengalamanmu bisa jadi inspirasi buat perempuan lainnya.

N: Sama-sama. Saya juga senang bisa berbagi.

Menggali Makna Konflik Peran Perempuan

Dari wawancara ini, kita dapat melihat bahwa menjadi perempuan yang menjalani dua atau lebih peran bukan soal menjadi “superwoman” yang bisa melakukan segalanya dengan sempurna. Justru, kekuatan perempuan terletak pada kemampuan untuk beradaptasi, mengelola ekspektasi, dan tetap setia pada nilai-nilai hidupnya.

Di banyak budaya, termasuk Indonesia, masih ada anggapan bahwa perempuan sebaiknya lebih fokus ke urusan domestik. Bahkan ketika seorang perempuan bekerja, tak jarang ia tetap diharapkan menjadi penanggung jawab utama urusan rumah. Di sinilah letak tekanan itu. Tuntutan sosial yang tidak adil bisa membuat perempuan merasa “selalu kurang” atau “selalu salah”.

Padahal, perempuan juga punya hak untuk tumbuh dan mengejar mimpinya. Seperti kata Dini, ia ingin bisa mandiri secara ekonomi, membantu orang tuanya, dan menjadi contoh bagi adiknya. “Saya nggak ingin hidup saya berhenti hanya karena saya menikah. Saya ingin tetap berkembang, tapi juga tetap hadir untuk keluarga,” ungkapnya.

Untuk mencapai itu, perempuan harus berani menyusun ulang prioritas dan berdamai dengan ketidaksempurnaan. Rumah tidak harus selalu rapi. Masakan tidak harus selalu tersedia tiga kali sehari. Dan kerja pun tidak harus selalu sempurna. Yang penting adalah keseimbangan: kapan harus gas, kapan harus rem. Dan yang tidak kalah penting, perempuan perlu belajar berkata “cukup”cukup untuk diri sendiri, cukup untuk kesehatan mental, cukup untuk kebahagiaan pribadi.

Dari kisah nyata ini, kita bisa menarik satu kesimpulan sederhana: perempuan itu kuat bukan karena bisa melakukan semuanya, tapi karena tahu mana yang perlu dipertahankan dan mana yang bisa dilepaskan. Mereka berani menghadapi konflik, berani merasa bersalah, tapi juga berani membuat keputusan untuk dirinya sendiri.

Perubahan besar tidak selalu dimulai dari revolusi sosial. Kadang dimulai dari hal-hal kecil: keberanian berbicara pada pasangan, keberanian mengambil peluang, dan keberanian jujur pada diri sendiri. Dalam hal ini, perempuan seperti Dini adalah potret kekuatan yang sesungguhnya—diam-diam berjuang, diam-diam bertumbuh.






0 komentar:

Posting Komentar