14.5.25

ESSAI 2 - Wawancara tentang Disonansi Kognitif


Ramlah Asiyah Ikramalina

22310410178

Psikologi Inovasi

Dosen  : Arundati Shinta

2025

Wawancara tentang Disonansi Kognitif dengan Perokok


    Atasan dikantor saya adalah seorang konsultan herbal dan hipnoterapi yang cukup dikenal di lingkungan kerja kami. Ia dikenal memiliki wawasan mendalam tentang kesehatan holistik dan sering memberi edukasi kepada klien mengenai bahaya zat adiktif, termasuk rokok. Namun, dalam kesehariannya, atasan saya justru masih merokok. Hal ini menjadi menarik karena jelas terdapat kesenjangan antara pengetahuan yang ia miliki dengan perilaku aktualnya, suatu kondisi yang dalam psikologi dikenal sebagai disonansi kognitif.

    Saat ditanya mengenai kebiasaan merokoknya, Atasan saya mengatakan “ “Saya tahu rokok itu berbahaya, apalagi saya sering menangani klien dengan gangguan pernapasan. Tapi kadang saya merasa rokok membantu saya rileks setelah sesi terapi yang berat.”

    Pernyataan ini mencerminkan adanya konflik antara kognisi (rokok berbahaya) dan perilaku (masih merokok), yang memunculkan ketegangan psikologis. Untuk meredakan ketegangan ini, subjek tampaknya menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi. Ia membenarkan perilakunya dengan mengatakan bahwa merokok membantu mengelola stress, fungsi yang menurutnya tidak dapat segera digantikan oleh strategi koping lain.

    Selain itu, atasan saya juga menunjukkan bentuk minimisasi, dengan mengatakan “Saya tidak seberat perokok lain kok. Hanya dua batang sehari, itu sudah jauh berkurang.”

Pernyataan ini menunjukkan upaya mengecilkan makna konsekuensi negatif dari perilakunya, sehingga ia tidak perlu mengubahnya secara drastis.

Fenomena ini penting dikaji dalam konteks psikologi inovasi. Inovasi dalam bidang kesehatan sangat menekankan pada internalisasi nilai-nilai perubahan perilaku. Namun, apabila seorang inovator atau edukator tidak selaras antara pengetahuannya dan tindakannya, maka kepercayaan terhadap gagasan yang ia bawa dapat menurun. Disonansi yang tidak diselesaikan akan menghambat proses adopsi inovasi karena pelaku inovasi sendiri tidak menunjukkan keteladanan.

Kasus atasan saya menunjukkan bahwa inovasi bukan hanya soal pengetahuan dan teknologi, melainkan juga komitmen pribadi. Untuk bisa berkembang dan menjadi agen perubahan, seseorang harus mampu menghadapi disonansi secara sadar dan memilih untuk mengubah perilaku demi keselarasan nilai dan tindakan.

Daftar Pustaka:

Schlatter, S., & Sprengholz, P. (2019). Understanding Cognitive Dissonance: A Social Psychological Perspective. Frontiers in Psychology, 10, 1189. https://www.frontiersin.org/journals/psychology/articles/10.3389/fpsyg.2019.01189/full

 


0 komentar:

Posting Komentar