PSIKOLOGI INOVASI
ESAI 2
Nama : Hidayat
Nim : 23310410052
Disonansi kognitif adalah perasaan
tidak nyaman yang
dialami seseorang saat
elemen-elemen kognitif dalam
dirinya bertabrakan atau tidak
konsisten. Seorang perokok yang
mengalami disonansi kognitif
dihadapkan dengan kenyataan pengetahuan
di mana merokok
berbahaya bagi kesehatan,
tetapi perilaku mereka tidak
konsisten terhadap pengetahuan
tersebut.
Profil Subjek
AG, 27 Tahun, telah merokok sejak SMA. Ia
mengetahui risiko kesehatan seperti kanker dan gangguan pernapasan, tetapi
tetap merokok 5-7 batang per hari.
Hasil Wawancara dengan AG.
Pewawancara (P) : Selamat malam mas, boleh
ngobrol-ngobrol sebentar?
Subjek (AG) : Boleh mas silahkan.
P: Sudah berapa lama mas merokok kalau boleh tau?
AG: Saya mulai merokok sejak masih SMA mas, sekitar 10 tahun
yang lalu.
P: Awal merokok karana apa ya mas?
AG: Awal merokok saya Cuma coba-coba mas ikut-ikutan temen,
malah keterusan sampe sekarang.
P: Dalam sehari bisa habiskan berapa batang rokok mas?
AG: Sekitar 5-7 batang saja mas, tapi kalau lagi stress bisa
sebungkus habis.
P: Sebungkus itu berapa batang ya mas?
AG: Sebungkus itu ada yang isinya yang 12,16,& 20. Kalau
saya biasanya beli yang isi 12 saja mas.
P: Masnya tau nggak dampak bahayanya dari merokok?
AG: Ya jelas berbahaya. Saya tahu bisa sebabkan kanker,
paru-paru rusak, atau jantung. Itu sering diiklankan juga & di bungkus
rokok juga ada tulisan bahayanya.
P: Lalu mengapa masih tetap merokok?
AG: Susah dijelaskan. Kayak sudah jadi kebutuhan. Nggak semua
perokok kena kanker kok. Buktinya kakek saya sudah lama merokok sampai sekarang
masih tetap sehat-sehat saja.
P: Apa sebelumnya pernah mencoba untuk berhenti?
AG: Pernah mas tapi cuma bertahan seminggu. Ujung-ujungnya
balik lagi karena teman-teman pada merokok, jadi tergoda.
P: Apakah Anda tidak sayang dengan kesehatan sendiri?
AG: Saya sayang mas, tapi saya pikir Saya
kan nggak seberat orang- orang yang habis satu pack sehari.
P: Apa mas pernah memikirkan dampak jangka panjang?
AG: Saya gk terlalu mikirin hal itu sih mas untuk sekarang,
sekarang juga saya masih sehat- sehat saja kok.
P: Apakah ada motivasi yang besar untuk berhenti merokok
mas?
AG: Mungkin suatu saat nanti kalau punya istri dan anak,
mungkin saya akan berusaha stop. tapi untuk sekarang belum ada alasan yang
kuat.
P: Menurut mas apa saran yang tepat untuk orang- orang yang
mau berhenti merokok?
AG: Mungkin bisa cari pengganti, misal membeli permen, atau
mengisi waktu luang misal dengan olah raga. Tapi susah juga mas kalau lingkungan
nggak mendukung.
P: Baik mas terima kasih banyak watunya.
AG: Sama-sama.
Mekanisme Pertahanan Diri yang
Teridentifikasi
1. Rasionalisasi
Subjek menggunakan logika palsu untuk
membenarkan perilakunya: “ Nggak semua perokok kena kanker kok. Buktinya
kakek saya sudah lama merokok sampai sekarang masih tetap sehat-sehat saja “
Analisis :
contoh kasus spesifik
(survivorship bias) untuk menolak data statistik tentang risiko merokok. Ini
sesuai dengan konsep rationalization dalam teori Freud, di
mana ego menciptakan alasan yang tampak logis untuk menghindari konflik batin.
2. Minimisasi
Subjek mengecilkan dampak perilakunya: “
Saya hanya merokok 5 batang sehari, tidak separah orang yang menghabiskan
satu pack “
Analisis: Strategi ini mengurangi
kecemasan dengan membuat bahaya terlihat "tidak signifikan".
Mekanisme ini mirip dengan downplaying dalam teori pertahanan
diri modern (Vaillant, 1992), di mana individu membandingkan diri dengan
kelompok yang dianggap lebih buruk.
3. Penolakan ( Denail)
Subjek menghindari pemikiran jangka
panjang: “ Saya gk terlalu mikirin hal itu sih mas untuk sekarang, sekarang
juga saya masih sehat- sehat saja kok “
Analisis: Penolakan terhadap realitas (denial
of reality) adalah mekanisme primitif yang melindungi ego dari informasi
mengancam (Freud, 1936). Dalam kasus ini, subjek menunda konflik dengan
mengabaikan konsekuensi masa depan.
Wawancara
ini mengungkap bagaimana disonansi kognitif pada perokok dikelola melalui
serangkaian mekanisme pertahanan diri yang tidak disadari. Meskipun strategi
seperti rasionalisasi dan penolakan membantu mengurangi kecemasan, mereka
menghambat perubahan positif. Solusi efektif harus memadukan pendekatan
psikologis (misalnya, meningkatkan self-efficacy) dan modifikasi
lingkungan (misalnya, kebijakan smoke-free area).
Lampiran:
Daftar Pustaka :
Suatan, A. T., & Irwansyah, I.
(2021). Studi review sistematis: Aplikasi teori disonansi kognitif dan upaya
reduksinya pada perokok remaja. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 5(1),
72-82.
Octaviana, S., Kania, R. N., &
Restu, U. (2016). Pengaruh Gambar Seram Kemasan Rokok Terhadap
Disonansi Kognitif Perokok di Kota Serang (Doctoral dissertation,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).
Febrianto, R., & Arham, S. (2023).
Disonansi Kognitif Perokok Perempuan dalam Budaya Patriarki. Jurnal
Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku, 4(2), 93-105.

0 komentar:
Posting Komentar