6.5.25

Esai 2 Wawancara Tentang Disonansi Kognitif_Hidayat_23310410052

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2 

Nama : Hidayat

Nim : 23310410052

Dosen Pengampu: DR.Arundhati Shinta, M.A.
Fakultas Psikologi 
Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta

Disonansi  kognitif adalah  perasaan  tidak  nyaman  yang  dialami  seseorang  saat  elemen-elemen  kognitif  dalam  dirinya bertabrakan  atau  tidak  konsisten. Seorang  perokok  yang  mengalami  disonansi  kognitif  dihadapkan dengan  kenyataan  pengetahuan  di  mana  merokok  berbahaya  bagi  kesehatan,  tetapi  perilaku  mereka tidak  konsisten  terhadap  pengetahuan  tersebut.

Profil Subjek

AG, 27 Tahun, telah merokok sejak SMA. Ia mengetahui risiko kesehatan seperti kanker dan gangguan pernapasan, tetapi tetap merokok 5-7 batang per hari.

Hasil Wawancara dengan AG.

Pewawancara (P) : Selamat malam mas, boleh ngobrol-ngobrol sebentar?

Subjek (AG) : Boleh mas silahkan.

P: Sudah berapa lama mas merokok kalau boleh tau?

AG: Saya mulai merokok sejak masih SMA mas, sekitar 10 tahun yang lalu.

P: Awal merokok karana apa ya mas?

AG: Awal merokok saya Cuma coba-coba mas ikut-ikutan temen, malah keterusan sampe sekarang.

P: Dalam sehari bisa habiskan berapa batang rokok mas?

AG: Sekitar 5-7 batang saja mas, tapi kalau lagi stress bisa sebungkus habis.

P: Sebungkus itu berapa batang ya mas?

AG: Sebungkus itu ada yang isinya yang 12,16,& 20. Kalau saya biasanya beli yang isi 12 saja mas.

P: Masnya tau nggak dampak bahayanya dari merokok?

AG: Ya jelas berbahaya. Saya tahu bisa sebabkan kanker, paru-paru rusak, atau jantung. Itu sering diiklankan juga & di bungkus rokok juga ada tulisan bahayanya.

P: Lalu mengapa masih tetap merokok?

AG: Susah dijelaskan. Kayak sudah jadi kebutuhan. Nggak semua perokok kena kanker kok. Buktinya kakek saya sudah lama merokok sampai sekarang masih tetap sehat-sehat saja.

P: Apa sebelumnya pernah mencoba untuk berhenti?

AG: Pernah mas tapi cuma bertahan seminggu. Ujung-ujungnya balik lagi karena teman-teman pada merokok, jadi tergoda.

P: Apakah Anda tidak sayang dengan kesehatan sendiri?

AG: Saya sayang mas, tapi saya pikir Saya kan nggak seberat orang- orang yang habis satu pack sehari.

P: Apa mas pernah memikirkan dampak jangka panjang?

AG: Saya gk terlalu mikirin hal itu sih mas untuk sekarang, sekarang juga saya masih sehat- sehat saja kok.

P: Apakah ada motivasi yang besar untuk berhenti merokok mas?

AG: Mungkin suatu saat nanti kalau punya istri dan anak, mungkin saya akan berusaha stop. tapi untuk sekarang belum ada alasan yang kuat.

P: Menurut mas apa saran yang tepat untuk orang- orang yang mau berhenti merokok?

AG: Mungkin bisa cari pengganti, misal membeli permen, atau mengisi waktu luang misal dengan olah raga. Tapi susah juga mas kalau lingkungan nggak mendukung.

P: Baik mas terima kasih banyak watunya.

AG: Sama-sama.

 

Mekanisme Pertahanan Diri yang Teridentifikasi

1. Rasionalisasi

Subjek menggunakan logika palsu untuk membenarkan perilakunya: “ Nggak semua perokok kena kanker kok. Buktinya kakek saya sudah lama merokok sampai sekarang masih tetap sehat-sehat saja “

Analisis :

 contoh kasus spesifik (survivorship bias) untuk menolak data statistik tentang risiko merokok. Ini sesuai dengan konsep rationalization dalam teori Freud, di mana ego menciptakan alasan yang tampak logis untuk menghindari konflik batin.

2. Minimisasi

Subjek mengecilkan dampak perilakunya: “ Saya hanya merokok 5 batang sehari, tidak separah orang yang menghabiskan satu pack “

Analisis: Strategi ini mengurangi kecemasan dengan membuat bahaya terlihat "tidak signifikan". Mekanisme ini mirip dengan downplaying dalam teori pertahanan diri modern (Vaillant, 1992), di mana individu membandingkan diri dengan kelompok yang dianggap lebih buruk.

3. Penolakan ( Denail)

Subjek menghindari pemikiran jangka panjang: “ Saya gk terlalu mikirin hal itu sih mas untuk sekarang, sekarang juga saya masih sehat- sehat saja kok

Analisis: Penolakan terhadap realitas (denial of reality) adalah mekanisme primitif yang melindungi ego dari informasi mengancam (Freud, 1936). Dalam kasus ini, subjek menunda konflik dengan mengabaikan konsekuensi masa depan.

            Wawancara ini mengungkap bagaimana disonansi kognitif pada perokok dikelola melalui serangkaian mekanisme pertahanan diri yang tidak disadari. Meskipun strategi seperti rasionalisasi dan penolakan membantu mengurangi kecemasan, mereka menghambat perubahan positif. Solusi efektif harus memadukan pendekatan psikologis (misalnya, meningkatkan self-efficacy) dan modifikasi lingkungan (misalnya, kebijakan smoke-free area).

Lampiran:

Daftar Pustaka :

Suatan, A. T., & Irwansyah, I. (2021). Studi review sistematis: Aplikasi teori disonansi kognitif dan upaya reduksinya pada perokok remaja. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi5(1), 72-82.

Octaviana, S., Kania, R. N., & Restu, U. (2016). Pengaruh Gambar Seram Kemasan Rokok Terhadap Disonansi Kognitif Perokok di Kota Serang (Doctoral dissertation, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa).

Febrianto, R., & Arham, S. (2023). Disonansi Kognitif Perokok Perempuan dalam Budaya Patriarki. Jurnal Penelitian Kualitatif Ilmu Perilaku4(2), 93-105.



0 komentar:

Posting Komentar