15.5.25

ESSAY 2 – PSIKOLOGI INOVASI: WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF - NURHANDIKA KHAYATA AULADI (22310410198)

 

Nama                           : Nurhandika Khayata Auladi

NIM                            : 22310410198

Mata Kuliah                : Psikologi Inovasi

Tugas Ke                     : 2

Nama Tugas                : Esai 2Wawancara tentang Disonansi Kognitif

Dosen Pengampu        : Dr., Dra. Arundati Shinta, M.A.

Waktu Terbit               : Mei 2025

 

IRONI SEHAT: DISONANSI KOGNITIF MAHASISWI OLAHRAGA DALAM KEBIASAAN MEROKOK

Pada awal Mei 2025, saya mewawancarai F (21), seorang mahasiswi jurusan olahraga di salah satu universitas di Yogyakarta. Wawancara dilakukan di kafe Tiga Roepa, tempat ia biasa berkumpul setelah kuliah. F telah menjadi perokok aktif selama dua tahun, meskipun secara akademis ia memahami sepenuhnya dampak negatif merokok terhadap kesehatan, performa fisik, serta kualitas hidup.

Ketika ditanya mengapa ia tetap merokok meskipun tahu risikonya, F menjawab, "Aku tahu itu buruk, tapi rokok bantu jadi rileks. Kadang aku stress karena latihan dan tugas. Dan menurutku merokok jadi cara cepat buat tenang." Pernyataan ini mencerminkan adanya disonansi kognitif atau ketidaksesuaian antara pengetahuan dan tindakan.

F berada dalam konflik internal. Di satu sisi, ia percaya pada nilai hidup sehat sebagai mahasiswa olahraga. Di sisi lain, ia melakukan perilaku yang bertentangan. Untuk mengurangi ketegangan psikologis akibat disonansi ini, F menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi. Ia membenarkan perilaku merokoknya dengan alasan stres dan tekanan akademik. Rasionalisasi ini adalah bentuk adaptasi psikologis untuk meredam konflik antara nilai dan perilaku yang tidak selaras.

Fenomena seperti ini memperlihatkan bagaimana disonansi kognitif dapat menjadi penghambat pertumbuhan pribadi dan profesional. Ketika seseorang terus-menerus mencari pembenaran untuk perilaku yang kontraproduktif, ia akan sulit berubah atau berkembang. Dalam konteks psikologi inovasi, ini menjadi tantangan besar: inovasi memerlukan kesiapan mental untuk meninggalkan kebiasaan lama dan berani menghadapi perubahan.

Sayangnya, seperti banyak individu lain yang mengalami disonansi kognitif, F merasa tidak memiliki alasan cukup kuat untuk berhenti. “Aku tahu harus berhenti, tapi nanti saja, mungkin setelah lulus, hahaha” katanya sambal tertawa. Hal ini menunjukkan penundaan sebagai strategi pertahanan diri lainnya atau proyeksi waktu untuk menghindari perubahan saat ini.

Penelitian terbaru mendukung fenomena ini. Sebuah studi menemukan bahwa perokok cenderung menyesuaikan keyakinan mereka untuk mengurangi disonansi, seperti meyakini bahwa merokok membantu konsentrasi atau mengurangi stres. Namun, ketika mereka berhenti merokok, keyakinan ini menurun, dan jika mereka kambuh, keyakinan tersebut kembali meningkat

Kasus F menjadi gambaran nyata bahwa pengetahuan saja tidak cukup. Diperlukan kesadaran, refleksi, dan dorongan internal untuk mengubah perilaku. Jika tidak, individu akan terus terjebak dalam zona nyaman yang justru membatasi potensi mereka.

 

DAFTAR REFERENSI

Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Social Psychology (10th ed.). Allyn & Bacon.

Fotuhi, O., Fong, G. T., Zanna, M. P., Borland, R., Yong, H., & Cummings, K. M. (2024). Patterns of cognitive dissonance-reducing beliefs among smokers: a longitudinal analysis from the International Tobacco Control (ITC) Four Country Survey. Tobacco Control.Deakin University Digital Repository+1PMC+1

 

0 komentar:

Posting Komentar