11.11.25

Ujian Tengah Semester Psikologi Lingkungan - Skema Persepsi


Ujian Tengah Semester

Skema persepsi lingkungan menurut Paul A. Bell


Nicholas Christianto Catur Nugroho

NIM 24310410030

Mata Kuliah Psikologi Lingkungan

Kelas Karyawan

Dosen pengampu : Dr., Dra.Arundati Shinta, MA


Dalam Psikologi Lingkungan, persepsi seseorang terhadap suatu tempat tidak hanya  bersifat objektif, tetapi terbentuk melalui proses psikologis yang kompleks. Menurut Paul A. Bell dan kawan-kawan (2001), persepsi lingkungan dapat dijelaskan melalui skema persepsi, yang terdiri dari tiga komponen utama: stimulus lingkungan, organisme atau individu yang mempersepsi, dan respon atau perilaku. Stimulus lingkungan mencakup semua karakteristik fisik yang tampak dari suatu tempat, seperti kondisi bangunan, kebersihan, warna, dan tata ruang. Dalam konteks foto perumahan di Amerika Selatan yang dinilai “kumuh” oleh para mahasiswa, stimulus yang tampak jelas adalah rumah-rumah yang padat, cat dinding yang pudar, lingkungan yang tampak sempit, serta infrastruktur yang tampaknya tidak terawat. Secara visual, hal ini menimbulkan kesan tidak nyaman bagi orang yang terbiasa hidup di lingkungan yang lebih teratur dan bersih. Namun, persepsi tidak berhenti pada stimulus. Komponen kedua dari skema Bell, yakni organisme atau individu, sangat menentukan bagaimana stimulus itu dimaknai. Setiap orang memiliki faktor internal yang berbeda-beda seperti pengalaman hidup, nilai budaya, tingkat ekonomi, serta harapan terhadap lingkungan tempat tinggal (Warouw dan Mastutie, 2013).

Bagi mahasiswa yang menilai perumahan itu kumuh, persepsinya terbentuk oleh standar kenyamanan dan estetika yang mungkin lebih tinggi, didukung oleh latar sosial ekonomi yang berbeda dari penghuni aslinya. Sebaliknya, bagi orang yang tinggal di kawasan tersebut, lingkungan itu bisa dipersepsi secara sangat berbeda. Bagi mereka, tempat itu mungkin bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga sumber keamanan sosial, kedekatan komunitas, dan keterjangkauan ekonomi. Pengalaman masa lalu juga berperan: seseorang yang tumbuh di lingkungan padat mungkin justru merasa nyaman karena terbiasa dengan interaksi sosial yang hangat dan solidaritas antarwarga. Faktor eksternal seperti keterbatasan ekonomi, akses pekerjaan, dan harga tanah turut memengaruhi persepsi terhadap lingkungan tersebut. Menurut Bell, persepsi manusia selalu terkait dengan tujuan dan kebutuhan. Jika seseorang memiliki keterbatasan finansial, maka kebutuhan dasar seperti tempat berlindung, keamanan, dan akses ke pekerjaan akan lebih diutamakan dibandingkan estetika lingkungan. Dengan kata lain, meskipun secara fisik lingkungan itu tampak “tidak layak” bagi sebagian orang, bagi penghuni yang memiliki konteks sosial ekonomi tertentu, tempat itu justru dianggap fungsional dan adaptif terhadap kebutuhan hidup mereka. Inilah bentuk persepsi utilitarian terhadap lingkungan, di mana penilaian seseorang lebih berorientasi pada fungsi dan manfaat nyata daripada pada tampilan visual (Purwantiasning dan Prayogi, 2018).

Selain kebutuhan ekonomi, faktor sosial dan budaya juga membentuk persepsi positif terhadap lingkungan yang tampak kumuh. Banyak perumahan padat di Amerika Selatan yang memiliki kohesi sosial tinggi penghuni saling mengenal, saling membantu, dan memiliki rasa memiliki terhadap lingkungan mereka. Dalam kerangka Bell, hal ini termasuk dalam aspek afektif persepsi, yaitu perasaan yang muncul terhadap suatu tempat. Rasa kebersamaan, identitas komunitas, dan kedekatan emosional dengan tetangga dapat menumbuhkan rasa nyaman yang tidak dapat digantikan oleh lingkungan fisik yang lebih indah namun individualistis. Karena itu, meskipun dari luar terlihat tidak layak, dari dalam lingkungan tersebut mungkin justru menyimpan makna sosial yang kuat bagi penghuninya.

Akhir skema persepsi Bell, terbentuklah respon atau perilaku, yakni keputusan dan tindakan yang diambil seseorang terhadap lingkungannya. Setelah individu menafsirkan dan memberi makna pada stimulus lingkungan sesuai dengan faktor internal dan eksternalnya, ia akan memutuskan untuk tinggal, beradaptasi, atau bahkan memperbaiki lingkungan tersebut. Dalam kasus ini, orang-orang yang bersedia tinggal di perumahan kumuh melakukannya bukan semata karena tidak punya pilihan, tetapi karena mereka telah membentuk persepsi positif terhadap lingkungan itu sebagai tempat yang aman, familiar, dan sesuai dengan kebutuhan hidup mereka. Persepsi tersebut menjadi dasar terbentuknya perilaku menetap dan beradaptasi, bahkan mungkin berusaha memperbaiki kondisi fisiknya sedikit demi sedikit (Marcella, 2025).

Penggunakan skema persepsi Paul A. Bell dkk., dapat disimpulkan bahwa keputusan seseorang untuk tinggal di lingkungan yang tampak kumuh tidak semata-mata didorong oleh keadaan ekonomi, tetapi juga oleh cara individu memaknai dan menilai lingkungannya. Persepsi terbentuk dari interaksi antara kondisi fisik (stimulus), karakter dan kebutuhan individu (organisme), serta tindakan yang diambil (respon). Apa yang tampak tidak layak bagi satu kelompok, bisa jadi bermakna “rumah” bagi kelompok lain, karena persepsi terhadap lingkungan selalu bersifat relatif, kontekstual, dan berakar pada pengalaman serta nilai-nilai pribadi.

 

Daftar Pustaka:


Marcella, J. (2004). Arsitektur & perilaku manusia. Grasindo.


Purwantiasning, A. W., & Prayogi, L. (2018). Penerapan Konsep Arsitektur Perilaku Pada Penataan Kawasan Zona 4 Pekojan Kota Tua Jakarta. PURWARUPA Jurnal Arsitektur, 2(2), 83-92.


Warouw, H., & Mastutie, F. (2013). Mall Dan Hypermarket Di Kotamobagu (Implementasi Copying Behavior Menurut PA Bell Dalam Arsitektur). Jurnal Arsitektur DASENG, 2(3), 110-118.


0 komentar:

Posting Komentar