18.11.25

Psikologi lingkungan UTS (Liany Nur Ramadhani)

 Liany Nur Ramadhani 24310410016

Kelas karyawan (B)

Mata kuliah psikologi lingkungan 

DR.A. SHINTA,M.A







Permasalahan :

  1. Apa faktor psikologis (persepsi) yang menyebabkan kualitas lingkungan fisik yang rendah (kekumuhan) secara otomatis diterjemahkan menjadi penolakan perilaku (keengganan untuk tinggal)?
  2. Sejauh mana persepsi (sebagai dasar terbentuknya suatu keputusan dan perilaku) menjadi penentu utama dalam interaksi individu dengan lingkungan yang penuh stres?
  3. Dalam konteks Psikologi Lingkungan, apa yang membedakan coping yang menghasilkan perilaku menghindar dari coping yang menghasilkan adaptasi dan upaya perbaikan?
  4. Mengapa orang bersedia tinggal di perumahan tersebut?

Foto situasi perumahan yang kumuh dan terabaikan di Amerika Selatan, yang menjadi salah satu materi dalam mata kuliah Psikologi Lingkungan, memberikan ilustrasi nyata tentang bagaimana kondisi fisik lingkungan dapat memengaruhi keputusan dan perilaku individu. Respons seragam mahasiswa yang menyatakan tidak bersedia tinggal di perumahan tersebut, kecuali terpaksa, dapat dijelaskan secara mendalam melalui kacamata Skema Persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan rekan-rekan (dalam Bell et al., 2001; Sarwono, 1995). Skema ini menegaskan bahwa persepsi bukan hanya sekadar penerimaan stimulus, tetapi juga dasar fundamental dalam pembentukan keputusan dan perilaku.

Menurut Bell, persepsi adalah proses menerima, mengolah, dan memberi makna pada stimulus lingkungan. Skema ini menggambarkan interaksi dinamis antara Objek Fisik (Lingkungan) dan Individu, yang kemudian menghasilkan respons.

Dalam kasus perumahan kumuh ini, Objek Fisik adalah kondisi perumahan yang sangat kumuh: bangunan rusak, tidak terawat, dan lingkungan yang suram. Ketika stimulus ini diterima oleh Individu (Mahasiswa), persepsi yang muncul akan diproses melalui dua jalur utama:

Dalam Batas Optimal (Homeostasis): Jika stimulus dirasakan sebagai hal yang wajar, dapat ditoleransi, atau bahkan positif, individu akan mencapai keadaan seimbang (Homeostasis) dan perilakunya akan cenderung mempertahankan atau menyesuaikan diri secara positif.

Di Luar Batas Optimal (Stres): Jika stimulus dirasakan sangat mengancam, tidak menyenangkan, atau di luar batas toleransi psikologis dan fisik, individu akan mengalami Stres.

Perumahan kumuh dengan segala keterbatasan dan ketidaknyamanannya secara langsung dipersepsikan oleh mahasiswa sebagai stimulus yang Jelas Berada Di Luar Batas Optimal. Persepsi ini memicu rasa tidak nyaman, kekhawatiran akan kesehatan dan keamanan, serta stigma sosial, yang pada akhirnya menghasilkan Stres Lingkungan.

Setelah mengalami stres, individu akan berupaya melakukan Coping—suatu usaha untuk mengendalikan atau mengurangi ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh lingkungan. Dalam konteks ini, ada dua kemungkinan hasil coping yang dapat menjelaskan perilaku mahasiswa:

Coping Berhasil (Adaptasi/ Adjustment): Jika mahasiswa terpaksa harus tinggal, mereka akan merencanakan upaya untuk "membersihkan, mengecat ulang, dan memperbaikinya." Ini adalah bentuk coping aktif yang bertujuan untuk mengubah lingkungan agar mencapai batas optimal. Jika berhasil, mereka akan beradaptasi dan stres mereda. Ini menjelaskan mengapa hanya mahasiswa yang "sangat terpaksa" yang akan melakukan perbaikan.


Daftar pustaka : 

Bell, P. A., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology. 5 ed. Harcourt College Publishers.

Patimah, A. S., Shinta, A., & Amir Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Grasindo & Program Pa

scasarjana Prodi Psikologi UI.








0 komentar:

Posting Komentar