TUGAS ESAI 2
WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI
Nama : Gladys Melisande Renata
Nim : 23310410015
Kelas : Reguler 23
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA
Bulan dan Tahun Terbit : November 2025
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
TAHUN 2025
Konsumsi rokok di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Pada 2017, jumlah perokok naik menjadi 29,3%, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan perokok terbanyak di Asia Tenggara dan ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India (Magati et al., 2018; Salsabila et al., 2022). Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi perokok usia 10–18 tahun meningkat hingga 9,3%, dengan laki-laki mendominasi (62,9%) dibanding perempuan (2,5%).
Remaja milenial yang akrab dengan teknologi sering menjadikan merokok sebagai simbol kedewasaan. Banyak dari mereka belum memahami bahaya nikotin dan efek ketergantungan yang ditimbulkannya. Rokok mudah didapat dari teman atau keluarga, dan dianggap dapat membantu bergaul, menenangkan diri, atau meningkatkan konsentrasi (R. Lake et al., 2017).
Padahal, zat berbahaya seperti nikotin, karbon monoksida, dan tar dapat memicu hipertensi, jantung koroner, serta kanker paru-paru dan organ lain (Tirtosastro & Murdiyati, 2017; Hidayat & Gumilang, 2017). Perokok yang mulai sejak remaja rata-rata kehilangan sekitar 22 tahun harapan hidup.
Pencegahan merokok masih berfokus pada penyuluhan kognitif tentang bahaya rokok (Rahmi Suryawati, 2016), namun hasilnya kurang efektif karena pengaruh lingkungan sosial, keluarga, dan media (Istiana et al., 2021). Sebagian besar remaja mulai merokok karena teman (46%), keluarga (23%), dan orang tua (14%) (Riadinata, 2018).
Penelitian di Singkawang menunjukkan banyak siswa SMA yang merokok, serta peningkatan kasus gangguan pernapasan akibat rokok dari 281 kasus (2017) menjadi 2.709 kasus (2018), termasuk 53 remaja. Hingga kini, upaya perubahan perilaku merokok remaja masih belum optimal (RSUD dr. Abdul Aziz Singkawang, 2018).
Artikel berjudul “Pelatihan Konselor Remistar (Remaja Milenial Tanpa Asap Rokok)” yang ditulis oleh Dwi Sulistyawati, Arif Nur Akhmad, dan Lily Yuniar (2023) membahas sebuah program pelatihan bagi remaja untuk menjadi konselor sebaya dalam pencegahan perilaku merokok. Program ini disebut REMISTAR, yang merupakan singkatan dari Remaja Milenial Tanpa Asap Rokok. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memberdayakan remaja agar mampu berperan aktif sebagai konselor yang bisa memberikan edukasi dan dukungan promotif, preventif, serta kuratif kepada teman sebayanya yang masih merokok.
Pelatihan dilakukan secara daring selama dua hari dan diikuti oleh 80 siswa dari dua sekolah, yaitu MAN 1 dan SMAN 3 Singkawang. Dalam kegiatan ini, peserta mendapatkan materi melalui ceramah, diskusi, serta pengisian kuesioner sebelum dan sesudah pelatihan. Hasilnya menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap yang signifikan. Sebanyak 87,5% peserta mengalami peningkatan pemahaman tentang bahaya rokok, 71,3% memahami peran konselor dengan baik, dan 96,6% memiliki sikap positif terhadap upaya berhenti merokok. Hal ini menandakan bahwa pelatihan REMISTAR berhasil meningkatkan kesadaran dan keinginan remaja untuk menjadi agen perubahan di lingkungannya.
Masalah utama yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan ini adalah meningkatnya jumlah perokok di kalangan remaja Indonesia, termasuk di Kota Singkawang. Banyak remaja mulai merokok karena ingin terlihat dewasa, mengikuti teman, atau meniru kebiasaan keluarga. Faktor lingkungan sosial dan minimnya pemahaman tentang efek buruk nikotin turut memperburuk keadaan. Selama ini, upaya pencegahan merokok masih berfokus pada pemberian informasi, belum menyentuh aspek psikologis dan sosial yang lebih dalam. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan baru yang lebih melibatkan remaja secara aktif salah satunya melalui pelatihan konselor sebaya.
Program REMISTAR memiliki kaitan erat dengan psikologi inovasi, karena mengusung pendekatan baru dalam membentuk perilaku positif di kalangan remaja. Inovasi ini terletak pada cara pelatihan memanfaatkan potensi remaja untuk menjadi pelaku perubahan, bukan hanya penerima informasi. Melalui pelatihan ini, remaja dilatih untuk mengembangkan empati, kemampuan komunikasi, serta tanggung jawab sosial. Selain meningkatkan pengetahuan, kegiatan ini juga menumbuhkan kesadaran diri, motivasi internal, dan kreativitas dalam menghadapi masalah sosial seperti kebiasaan merokok. Dengan demikian, REMISTAR bukan hanya program kesehatan, tetapi juga bentuk inovasi psikologis yang mendorong remaja berpikir kritis, peduli, dan aktif menciptakan lingkungan bebas asap rokok.
Berikut hasil wawancara dengan perokok.
Nama : Rf
Jabatan/pekerjaan : Marketing Operational
1. Sejak kapan Anda mulai merokok, dan apa alasan awalnya?
Jawaban :
Sejak kelas 2 SMK alasannya karena saat mengerjakan laporan praktek
2. Anda tahu bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, tapi tetap dilakukan. Bisa jelaskan alasannya?
Jawaban :
Karena dari hisapan rokok akan membuat tenang pikiran
3. Apa yang Anda rasakan setiap kali merokok. apakah muncul rasa bersalah, biasa saja, atau justru merasa tenang?
Jawaban :
Merasa tenang
4. Ketika orang lain menegur atau mengingatkan bahaya merokok, bagaimana reaksi Anda?
Jawaban :
Cukup didengarkan dan dipertimbangkan walaupun belum melakukan
5. Apa yang biasanya Anda katakan pada diri sendiri agar tetap merasa nyaman dengan kebiasaan ini?
Jawaban :
Tidak ada yang dikatakan karena pada saat senggang akan terada hampa tanpa adanya rokok disertai kopi
6. Apakah Anda pernah mencoba berhenti merokok? Kalau pernah, apa yang membuat Anda kembali merokok lagi?
Jawaban :
Pernah saat usai cabut gigi,kembali merokok lagi karena yang tertera pada larangan setelah cabut gigi yaitu hanya 1 minggu, karena itulah setelah 1 minggu saya merokok kembali
7. Jika diberi kesempatan untuk berhenti, apa tantangan terbesar bagi Anda?
Jawaban :
Tidak ada tantangan besar yang signifikan karena pada dasarnya jika ada niat untuk berhenti maka akan berhenti dengan sendirinya
8. Menurut Anda, seperti apa bentuk “kemajuan diri” dalam konteks kebiasaan merokok ini?
Jawaban :
Menurut saya apabila kita merokok tetapi diimbangi dengan aktifitas dan olahraga yang teratur maka akan lebih baik daripada tanpa melakukan aktifitas apapun, serta menurut suggesti saya sendiri apabila kita ngobrol dengan orang baru akan terasa lebih nyaman dan pembawaan suasana yang santai
9. Apakah Anda pernah membenarkan kebiasaan merokok dengan alasan tertentu (misalnya, untuk relaksasi, mengurangi stres, atau karena teman-teman juga merokok)?
Jawaban :
Ya,kebanyakan perokok berawal dari teman teman/ lingkungan mereka yang perokok, namun bagi saya pernyataan yang benar dari saya pribadi yaitu untuk relaksasi dan mengurangi stres
Berdasarkan hasil wawancara, subjek menunjukkan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam mempertahankan kebiasaan merokoknya. Meskipun mengetahui bahwa rokok berbahaya, subjek beralasan bahwa merokok membuat pikirannya tenang dan dapat diimbangi dengan olahraga. Hal ini menunjukkan adanya rasionalisasi, yaitu usaha membenarkan perilaku yang keliru dengan alasan yang tampak logis.
Pernyataan bahwa berhenti merokok bukanlah hal sulit menunjukkan penyangkalan (denial) terhadap ketergantungan nikotin. Selain itu, alasan awal merokok karena tekanan tugas sekolah mencerminkan displacement, yaitu pemindahan stres akademik ke perilaku merokok.
Subjek juga menampilkan identifikasi sosial, ketika menyebut bahwa kebanyakan perokok berawal dari pengaruh teman dan lingkungan. Merokok dianggap membantu menyesuaikan diri dan menciptakan suasana santai saat berinteraksi. Dalam hal ini, rokok berfungsi sebagai sarana meningkatkan rasa percaya diri dan kenyamanan sosial.
Secara keseluruhan, perilaku merokok subjek bukan hanya kebiasaan, tetapi juga cara mempertahankan keseimbangan emosional. Melalui rasionalisasi, penyangkalan, dan identifikasi sosial, subjek berusaha meredakan konflik antara kesadaran akan bahaya merokok dan kebutuhan psikologis untuk merasa tenang serta diterima lingkungannya.
Lampiran
Daftar Pustaka
Sebuah, P. K. R. R. M. T. A. R., & Di, I. P. M. P. R. (2023). Poltekita: Jurnal Pengabdian Masyarakat.



0 komentar:
Posting Komentar