Disonansi Kognitif pada Ayah Perokok dengan Anak Balita
Identitas Subjek:
Inisial: H.S.
Usia: 34 tahun
Pekerjaan: Karyawan swasta
Status: Menikah, memiliki satu anak usia 4 tahun
Saya melakukan wawancara dengan H.S., seorang ayah muda yang telah merokok selama lebih dari sepuluh tahun. Ia mengaku mengetahui bahaya rokok bagi kesehatan, terutama bagi anak kecil yang terpapar asap rokok. Namun, ia masih belum berhasil menghentikan kebiasaan tersebut. Fenomena ini menunjukkan adanya disonansi kognitif, yaitu kondisi ketika seseorang mengalami ketegangan psikologis akibat memiliki keyakinan dan perilaku yang saling bertentangan (Festinger, 1957).
Dalam wawancara, H.S. mengatakan:
“Saya tahu rokok itu nggak baik buat anak. Istri saya sering marah kalau saya ngerokok di rumah. Tapi kadang saya cuma ngerokok di teras, biar nggak ganggu. Rasanya susah banget berhenti, apalagi kalau lagi stres kerja.”
Pernyataan ini memperlihatkan konflik batin antara pengetahuan dan kebiasaan. Sebagai ayah, H.S. memahami tanggung jawabnya untuk menjaga kesehatan anak, tetapi perilaku merokok tetap dilakukan. Untuk mengurangi ketegangan batin itu, ia menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi, yaitu membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa “merokok di teras sudah cukup aman”. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa residu asap rokok (thirdhand smoke) tetap berbahaya bagi anak.
Selain rasionalisasi, terdapat indikasi mekanisme denial (penyangkalan). H.S. tampak menolak sepenuhnya kenyataan bahwa kebiasaannya masih membahayakan keluarga. Dengan menyangkal risiko tersebut, ia dapat merasa lebih tenang tanpa perlu mengubah perilakunya. Namun, mekanisme ini bersifat jangka pendek dan justru memperkuat ketidakselarasan antara nilai sebagai orang tua dan tindakan nyata.
Dari perspektif psikologi inovasi, disonansi seperti ini dapat menjadi penghambat perubahan dan kemajuan perilaku. Individu yang menolak menghadapi konflik batinnya akan sulit melakukan inovasi dalam gaya hidup. Padahal, kesadaran diri terhadap ketidaksesuaian antara nilai dan tindakan adalah langkah awal menuju perubahan yang lebih sehat dan adaptif. Jika H.S. mampu mengubah disonansi menjadi motivasi—misalnya dengan mencari alternatif coping seperti olahraga atau meditasi—ia berpotensi menjadi panutan positif bagi keluarganya.
Teori Festinger (1957) menyebutkan bahwa seseorang dapat mengurangi disonansi dengan mengubah perilaku, mengubah keyakinan, atau menambah pembenaran. Dalam kasus H.S., ia memilih menambah pembenaran melalui rasionalisasi. Namun, perubahan yang sejati akan terjadi bila ia berani mengubah perilakunya agar sejalan dengan nilai yang diyakininya, yaitu melindungi anak dari bahaya rokok.
Kasus ini menunjukkan bahwa kesadaran tanpa tindakan tidak cukup. Disonansi kognitif yang tidak diatasi akan menahan seseorang dalam lingkaran kebiasaan lama. Untuk maju dan berinovasi dalam hidup, seseorang perlu keberanian menghadapi konflik internal dan menyesuaikan perilaku dengan nilai yang diyakini.
Daftar Pustaka
Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.
Myers, D. G. (2014). Social Psychology (11th ed.). McGraw-Hill Education.
Santrock, J. W. (2018). Life-Span Development (16th ed.). McGraw-Hill Education.
0 komentar:
Posting Komentar