ESAI-2 WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
DISONANSI KOGNITIF PADA PERILAKU MEROKOK
Mata Kuliah : Psikologi Inovasi
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A
Oleh : Azizah Nur’aeni 23310410030
Perilaku merokok merupakan salah satu contoh klasik dari disonansi kognitif, yaitu ketegangan psikologis yang muncul ketika seseorang memiliki dua atau lebih keyakinan, nilai, atau perilaku yang saling bertentangan (Festinger, 1957). Menurut teori Cognitive Dissonance yang dikemukakan oleh Leon Festinger, individu akan berusaha mengurangi ketegangan ini dengan cara mengubah salah satu keyakinan, mencari pembenaran rasional, atau meminimalkan pentingnya konflik tersebut agar tetap merasa nyaman dengan dirinya sendiri.
Dalam konteks perilaku merokok, disonansi terjadi ketika seseorang mengetahui bahaya rokok bagi kesehatan, tetapi tetap melanjutkan kebiasaan tersebut. Ketegangan ini mendorong individu untuk melakukan rationalization, misalnya dengan berpikir bahwa “rokok elektrik lebih aman” atau “saya bisa berhenti kapan saja.” Fenomena ini menarik untuk dikaji, khususnya dalam hubungan dengan psikologi inovasi, karena inovasi psikologis membutuhkan kemampuan untuk menantang kebiasaan lama, berpikir kritis, dan menciptakan perubahan perilaku yang adaptif.
Deskripsi Subjek dan Latar Belakang
Subjek wawancara, sebut saja Mister (usia 34 tahun), yang bekerja sebagai Supervisor di perusahaan digital marketing. Mister mulai merokok sejak SMA kelas 2 (sekitar tahun 2009) karena pengaruh lingkungan atau teman. Pada tahun 2009–2017, Mister adalah perokok aktif yang bisa menghabiskan lebih dari satu bungkus rokok per hari.
Tahun 2017, Mister beralih ke rokok elektrik (vape) dengan alasan bau yang tidak menyengat dan dianggap lebih “bersih”, terutama karena beliau sudah memiliki anak. Mister juga mengaku lebih nyaman secara fisik, merasa napas lebih ringan, dan mampu berlari lebih lama saat futsal.
Meskipun sudah sering mendapat ajakan untuk berhenti merokok dari orang tua dan istri, Mister tidak benar-benar menindaklanjutinya. Ia mengaku sering menjawab “ya” hanya untuk menghentikan desakan, padahal sebenarnya belum memiliki niat pribadi untuk berhenti. Mister juga menyampaikan jika pernah berhenti merokok selama satu tahun (2015) karena sakit dan hasil rontgen paru-paru yang buruk, tetapi kembali lagi setelah sembuh. Menurutnya, merokok memberi efek dopamin yang menenangkan, dan meski tahu risikonya, Mister memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu. Dan ketika ditanya soal keinginan berhenti, Mister menjawab bahwa ia ingin berhenti suatu saat, namun belum tahu kapan waktunya.
Mister juga menyampaikan bahwa, “Perokok tidak akan berhenti jika bukan keinginan dan niat dari diri sendiri.”
Analisis Disonansi Kognitif
Berdasarkan teori Leon Festinger (1957), disonansi kognitif terjadi ketika terdapat ketidaksesuaian antara keyakinan (cognition) dan perilaku (behavior). Mister menunjukkan bentuk disonansi yang jelas, yaitu kognisi 1: ia tahu dan memahami bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan, bahkan pernah melihat bukti rontgen paru-parunya sendiri. Kognisi 2: ia tetap melanjutkan perilaku merokok (meski beralih ke vape) dan belum memiliki niat berhenti.
Untuk mengurangi ketegangan akibat disonansi ini, Mister melakukan beberapa bentuk justifikasi kognitif, antara lain:
Rasionalisasi kesehatan dari pernyataan, “Vape tidak terlalu membuat napas pendek seperti rokok biasa.”
Rasionalisasi sosial dari pernyataan, “Baunya tidak menyengat, jadi lebih nyaman di sekitar anak dan keluarga.”
Penundaan keputusan dari pernyataan, “Saya ingin berhenti nanti, mungkin kalau sudah tua.”
Reinterpretasi bukti dari pernyataan, “Gambar di bungkus rokok tidak berpengaruh, karena semua orang juga tahu itu.”
Dengan demikian, Mister memilih mengubah cara berpikirnya, bukan perilakunya, untuk mengurangi ketegangan psikologis. Ini merupakan mekanisme khas dalam mempertahankan kestabilan diri meskipun perilaku bertentangan dengan nilai yang diyakini.
Berdasarkan hasil wawancara, mekanisme pertahanan diri yang tampak dominan pada Mister adalah rasionalisasi, penyangkalan (denial), dan represi ringan terhadap rasa bersalah. Mister secara sadar mengetahui bahaya merokok dan bahkan pernah mengalami dampak fisik yang nyata melalui hasil rontgen paru-parunya, namun tetap mempertahankan perilaku tersebut dengan alasan yang dianggap logis, seperti “vape lebih sehat” atau “baunya tidak terlalu menyengat.” Rasionalisasi ini berfungsi untuk meredakan ketegangan batin akibat pertentangan antara keyakinan (“merokok berbahaya”) dan perilaku (“masih terus merokok”).
Di sisi lain, penyangkalan muncul ketika Mister menolak ajakan berhenti dari keluarga dengan jawaban normatif tanpa komitmen nyata, sebagai bentuk pertahanan diri dari tekanan sosial dan rasa bersalah. Mekanisme ini memperlihatkan bagaimana individu berupaya mempertahankan self-concept positif dan kestabilan emosional, meski bertentangan dengan fakta objektif.
Dalam konteks psikologi inovasi, kondisi ini menunjukkan hambatan dalam perubahan perilaku, karena inovasi pribadi (seperti berhenti merokok) menuntut keberanian untuk menghadapi ketidaknyamanan kognitif dan emosional yang muncul saat seseorang menantang kebiasaan lamanya.
Dari perspektif psikologi inovasi, fenomena ini memperlihatkan adanya stagnasi kognitif, yaitu ketika seseorang menolak melakukan perubahan nyata meskipun memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup. Inovasi dalam konteks psikologis tidak hanya berarti menemukan hal baru, tetapi juga mampu berpikir adaptif dan mengambil keputusan baru untuk memperbaiki diri.
Kasus Mister menunjukkan bahwa disonansi kognitif dapat membuat individu tetap bertahan pada perilaku yang bertentangan dengan nilai kesehatannya sendiri. Melalui mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, penyangkalan, dan penundaan, Mister berusaha mengurangi ketegangan batin tanpa benar-benar mengubah perilakunya.
Dari sisi psikologi inovasi, situasi ini menegaskan bahwa perubahan perilaku memerlukan keberanian untuk menghadapi ketidaknyamanan psikologis, refleksi diri yang jujur, serta dorongan internal untuk berinovasi dalam cara berpikir dan bertindak. Inovasi sejati dalam konteks psikologis bukan sekadar mengganti bentuk perilaku (rokok ke vape), melainkan menciptakan pola pikir baru yang lebih sehat, adaptif, dan berorientasi pada pertumbuhan pribadi.
Daftar Pustaka Hidayat, N., & Fitria, R. (2020). “Disonansi Kognitif pada Perokok Dewasa Awal.” Jurnal Psikologi Integratif, 8(1), 34–45
Nur’aeni, D. (2019). “Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism) dalam Menghadapi Konflik Psikologis.” Jurnal Psikologi dan Konseling, 10(2), 122–132.
Widyastuti, T. (2018). “Perilaku Merokok Ditinjau dari Disonansi Kognitif dan Dukungan Sosial.” Jurnal Empati, 7(3), 123–133.
Nur’aeni, D. (2019). “Mekanisme Pertahanan Diri (Defense Mechanism) dalam Menghadapi Konflik Psikologis.” Jurnal Psikologi dan Konseling, 10(2), 122–132.

0 komentar:
Posting Komentar