DISONANSI
KOGNITIF MAHASISWA ALCOHOLIC YANG ADA DI LINGKUNGAN KOST
Joo
Adam Felix Nadapdap (25310420008)
Mata
kuliah Psikologi Inovasi
Dosen
pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI
Berikut cuplikan hasil
wawancara :
A: Kapan Pertama
kali anda mulai menjadi alcoholic ?
B: Saya pertama kali menjadi seorang peminum alcohol kelas 1 SMA
A: Apakah anda
mengetahui bahwa alkohol memiliki dampak negatif bagi kesehatan ?
B: Iya saya mengetahui karna setiap sadar setelah meminum minuman keras badan saya teras tidak enak
A: Apakah anda
pernah mencoba berhenti untuk menjadi alcoholic
B: Pernah, cuman kendala nya jika saya memiliki uang lebih, saya tidak dapat mengendalikan diri saya untuk membeli minuman alcohol dan ketika saya sedang memiliki emosional yang tidak baik baik saja saya akan mengonsumsi minuman keras, lingkungan sekitar saya juga banyak yang menyarankan kepada saya untuk mencari ketenangan itu pada minuman keras ketika saya dalam kondisi emosional yang tidak baik baik saja.
A: Menurut anda,
apakah minuman alcohol memiliki manfaat tertentu
B: bagi saya meminum keras itu hanya memberikan manfaat tenang sesaat ketika saya sedang dalam keadaaan emosional yang tidak baik baik aja, selebih nya minuman keras hanya meperburuk keadaan atau tidak bermanfaat.
Hasil wawancara menunjukan bahwa BN mengalami disonansi kognitif, yaitu ketidakcocokan antara apa yang ia ketahui dan apa yang ia lakukan. Ia tahu bahwa minuman alcohol berbahaya, tetapi tetap meminum alcohol karena merasa nyaman secara emosional dan ketenangan sesaat. Pernyataannya bahwa “alcohol tidak berlebihan” merupakan bentuk mekanisme pertahanan diri, yakni rasionalisasi, yaitu cara untuk menenangkan rasa bersalah.
Selain itu faktor sosial juga memperkuat kondisi ini, banyak teman kosnya juga meminum alcohol walau terkadang mereka tidak memiliki masalah emosional, membuat tindakan tersebut terlihat alami. Norma dalam lingkungan kost yang memperbolehkan membuatnya kurang termotivasi mengubah prilaku. Hal ini menunjukan bahwa disonansi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor diri dalam diri tetapi juga oleh lingkungan sosial yang mendukung kebiasaan lam
Kondisi tidak nyaman dari tekanan psikologis ketika seseorang memiliki 2 atau lebih kognisi (sejumlah informasi) yang tidak konsisten atau tidak sesuai satu sama lain disebut dengan disonansi kognitif (Vaughan & Hogg,2005). Dan menurut Leon Festinger (1957), seseorang bisa mengurangi disonansi dengan cara mengubah perilaku, mengubah keyakinan, atau menambah keyakinan baru. AB memilih menambah keyakinan dengan berpikir bahwa meminum alcohol atau menjadi alcoholic “tidak masalah selama tidak berlebihan.” Cara ini memberi rasa tenang secara psikologis, tetapi justru menghalangi kemajuan pribadinya.
Dari sudut
pandang psikologi inovasi, seseorang yang masih mempertahankan disonansi akan
mengalami kesulitan berubah karena energi psikologisnya digunakan untuk
membenarkan tindakan yang tidak benar. Kesadaran sendiri tidak cukup tanpa
keberanian mengubah kebiasaan. Disonansi kognitif akhirnya menjadi hambatan
bagi kemajuan pribadi dan keseimbangan diri.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA :
Festiger, L. (1957). A theory of cognitive dissonance. Row, Peterson, New York.
PRAWIBOWO, S. T. (2022). Analisis Disonansi Kognitif Mahasiswa Untuk Pemilihan Asisten Laboratorium Program Studi Teknik Industri Universitas Islam Indonesia.


0 komentar:
Posting Komentar