FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
Dosen : Dr. Arundati Shinta, MA
PSIKOLOGI INOVASI
Penulis : Dania Ulfah Rahmawati
NIM : 23310410063
Setiap orang punya cara sendiri dalam merespons perubahan. Kisah Ayu Aryanti dan para remaja “unik” yang dibina Kang Dedi Mulyadi (KDM) adalah contoh nyata bahwa dua individu bisa mengalami hal yang sama, namun memberikan respon yang sangat berbeda. Meski mereka sama-sama mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri, hasil akhirnya justru bertolak belakang. Untuk memahami ini, kita bisa menggunakan teori persepsi dari Paul A. Bell, yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh bagaimana ia memaknai lingkungannya.
Persepsi itu bukan sekedar soal melihat atau mendengar sesuatu, tapi bagaimana kita menangkap makna dari pengalaman. Pada saat ini, program yang diberikan oleh KDM adalah stimulus—pemicu dari luar. Namun ternyata, stimulus yang sama tidak selalu menghasilkan dampak yang sama. Karena ya itu tadi, tergantung dari bagaimana masing-masing orang memaknai pengalaman tersebut.
Dalam skema persepsi Paul A. Bell, prosesnya kira-kira seperti ini:
1. Lingkungan fisik dan sosial
2. Proses persepsi (seleksi, interpretasi, organisasi)
3. Munculnya respons perilaku
4. Kebiasaan yang terbentuk dari perilaku yang diulang-ulang
Ayu Aryanti, misalnya. Secara kasat mata, dia dapat banyak hal baik. Dia tinggal di lingkungan yang mendukung, tidak perlu mikir biaya hidup atau pendidikan, bahkan dapat kasih sayang dari KDM. Tapi sepertinya, Ayu belum siap secara mental. Perubahan hidup yang drastis itu mungkin justru membuat dia merasa asing dan kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Akibatnya, meski fasilitas lengkap, ia tetap kembali ke kebiasaannya dulu: membantu orang tua berjualan makaroni, meski keuntungannya kecil.
Sementara itu, remaja-remaja “unik” justru menunjukkan respon yang lebih positif. Mereka masuk ke barak militer di tempat yang serba teratur dan disiplin. Mungkin awalnya mereka kaget, bahkan merasa terpaksa. Tapi lama-lama, dengan rutinitas, kedisiplinan, dan teladan langsung dari KDM, mereka mulai mengubah cara pandangnya. Mereka mulai terbiasa bangun pagi, belajar tepat waktu, berdoa, dan punya tujuan hidup. Dari sini kita bisa lihat bahwa ketika persepsi terhadap lingkungan mulai berubah, maka perilaku pun akan ikut berubah.
Intinya, perubahan tidak cukup hanya mengandalkan lingkungan. Yang paling menentukan adalah bagaimana individu mempersepsi lingkungan itu. Kalau seseorang belum bisa melihat masalah sebagai peluang, maka lingkungan sebaik apa pun akan tetap terasa asing. Tapi kemudian ia mulai mengartikan pengalamannya sebagai sesuatu yang berharga, maka perlahan-lahan, pola pikir dan perilakunya akan iku berubahDalam kasus Ayu, pendekatan yang lebih pelan dan personal mungkin lebih tepat. Perubahan yang terlalu cepat bisa membuat seseorang merasa tidak punya kendali. Maka, pendampingan psikologis yang lebih lembut dan dialogis dapat membantu Ayu menemukan kembali makna dari pilihannya. Sedangkan untuk remaja “unik”, pendekatan yang tegas tapi penuh perhatian sudah terbukti berhasil. Mereka belajar dari pengalaman nyata dan contoh langsung.
Dari dua kisah ini, kita belajar bahwa perubahan diri bukan hanya soal dipaksa atau diberi fasilitas. Yang paling penting adalah bagaimana seseorang memaknai hidupnya. Dan makna itu, seperti kata Bell, lahir dari proses persepsi yang tepat dibentuk oleh pengalaman, hubungan yang hangat, dan waktu yang cukup.
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam menanggapi perubahan. Hal ini tergambar jelas dari dua kasus yang sedang banyak diperbincangkan: Ayu Aryanti dan para remaja “unik” yang dibina oleh Kang Dedi Mulyadi (KDM). Meski keduanya mendapat kesempatan yang sama untuk berubah menjadi lebih baik, hasil akhirnya jauh. Untuk memahami hal ini, kita bisa menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell, yang menjelaskan bahwa perilaku seseorang terbentuk melalui proses persepsi terhadap lingkungannya.
Persepsi adalah proses aktif dalam menerima, menginterpretasi, dan memberikan makna terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Dalam konteks ini, stimulus yang dimaksud adalah intervensi dan program pelatihan dari KDM. Namun, stimulus yang sama ternyata menghasilkan respon yang berbeda-beda, tergantung dari bagaimana individu memaknai pengalamannya masing-masing.
Skema Persepsi Paul A. Bell (dalam Patimah et al., 2024):
1. Lingkungan Fisik dan Sosial
2. Proses Persepsi (seleksi, interpretasi, dan organisasi)
3. Respons Perilaku
4. Pembentukan Kebiasaan dan Perubahan Diri
Jika kita melihat kasus Ayu Aryanti, secara lingkungan fisik dan sosial, ia berada dalam kondisi yang sangat mendukung: tinggal di rumah KDM, mendapatkan akses pendidikan, konsumsi layak, dan bahkan afeksi. Namun, proses persepsinya terhadap situasi ini tampaknya belum sampai pada tahap internalisasi nilai-nilai yang ditanamkan. Ia mungkin merasakan keterasingan, tidak nyaman, atau tidak siap dengan perubahan mendadak dari dunia lamanya ke lingkungan baru. Interpretasi Ayu terhadap kehidupan barunya bisa jadi adalah sesuatu yang “asing”, bukan sebagai peluang, melainkan sebagai beban. Inilah yang membuat respons perilakunya cenderung bertahan di zona nyaman, yakni kembali berjualan makaroni bersama orangtuanya, meski penghasilannya sangat minim.
Berbeda dengan Ayu, para remaja “unik” justru merespons secara aktif. Mereka awalnya memang berada di titik ekstrem perilaku: tidak disiplin, sering melanggar norma, bahkan berakhir dengan alkohol dan kekerasan. Namun, masuknya mereka ke dalam lingkungan barak militer yang terstruktur secara drastis mengatur ulang ritme hidup mereka memberikan stimulus yang kuat dan intensif. Lingkungan fisik yang tegas, rutinitas yang disiplin, serta dukungan emosional dari sosok KDM sebagai figur ayah membuat proses persepsi mereka terarah: dari yang awalnya menolak, menjadi menerima, lalu akhirnya memaknai pengalaman tersebut sebagai titik balik hidup. Proses persepsi ini kemudian melahirkan respons perilaku baru seperti berdoa, belajar tepat waktu, serta memiliki tujuan hidup. Ketika perilaku ini dilakukan secara berulang-ulang, terbentuklah kebiasaan baru dan perubahan diri yang signifikan.
Secara psikologis, perbedaan hasil antara Ayu dan remaja “unik” ini menunjukkan bahwa lingkungan saja tidak cukup untuk membentuk perubahan. Faktor utama terletak pada bagaimana individu mempersepsi lingkungan itu sendiri. Dalam hal ini, persepsi adalah pintu masuk bagi segala bentuk perubahan. Ketika seseorang gagal mengartikan pengalaman sebagai peluang, maka apa pun lingkungannya tidak akan berubah. Sebaliknya, saat seseorang berhasil memaknai pengalaman sebagai sebuah kesempatan, meski awalnya dibayangkan, perubahan bisa terjadi.
Solusi dan Refleksi
Melihat kasus Ayu, perlu pendekatan yang lebih personal dan adaptif. Perubahan tidak bisa dipaksakan secara instan, terlebih jika individu belum siap secara mental. Pendampingan psikologis berbasis empati dan pelibatan aktif dalam pengambilan keputusan mungkin bisa membantu Ayu menumbuhkan persepsi baru terhadap masa depannya.
0 komentar:
Posting Komentar