10.5.25

Essay 2 : Psikologi Inovasi _Wawancara tentang Disonasi Kognitif_Rafiqoh Novembria

 

Selasa, 29 April 2025

ESSAY 2 


WAWANCARA TENTANG DISONASI KOGNITIF 


ANTARA KEBUTUHAN EMOSIONAL DAN RISIKO

 : KISAH REMAJA PENGGUNA VAPE

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDHATI SHINTA, MA

 


Disusun Oleh : 


Rafiqoh Novembria 


(22310410181)


Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

 

Disonasi kognitif adalah suatu perasaan tidaknyaman yang dialami oleh seseorang dikarenakan sikap, perilaku, dan pemikiran yang tidak konsistens, yang mana membuat seseorang termotivasi untuk mengurangi rasa tidak nyaman tersebut. Disonasi kognitif ini terjadi hampir di semua manusia. Salah satu contohnya adalah rokok. Rokok ini tidak hanya rokok konvensional melainkan juga rokok elektrik/ vape. Berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan kedua dengan konsumsi rokok tertinggi, yang berkontribusi pada sekitar 300.000 kematian per tahun. Di proyeksi jika jumlah perokok di Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, dari 31,7 persen pada 2000 menjadi 37,5 persen pada 2025 (Lisnawati, Y, (2025)). Fenomena  perokok vape ini sudah berkembang pesat di berbagai kalangan. Salah satunya adalah kalangan remaja. Dalam esai kali ini, saya akan membahas mengenai hasil wawancara yang sudah saya lakukan dengan seorang  remaja yang sudah 1 tahun menggunakan rokok eletrik/ vape.

Sebut saja remaja ini berinisial G, dia adalah seorang pelajar sekolah menengah atas (SMA)  yang berusia 16 tahun. Si G ini sudah menggunakna vape selama 1 tahun, awal dari si G menggunakan vape karena lingkungan pergaulannya. Dimana dalam circle pergaulannya, ada salah satu temannya mengatakan “ reneo, ngevape sek wae... cobonen sak isep pisan thok wae..enak lho “. Lalu si G menolak dan iya, ajakan itu terus didapatkan si G di lingkungan pertemanannya. Hingga suatu ketika, si G luluh dengan ajakan temannya dan mencoba ngevape. Pengalaman pertama si G mengatakan “ enak juga iya..rasanya beda sama rokok biasa, ujarnya sambil tersenyum kecil”. Sebelumnya si G memang pernah mencoba rokok konvensional namun saat mencoba itu dada si G terasa sesak dan batuk – batuk. Setelah pengalaman pertama itu, si G hampir setiap hari menggunakan vape  terutama saat sedang nongkrong dan mengerjakan tugas. Selain itu, si G juga mencoba berbagai variasi rasa yang ada di vape. Intensitas vape yang di lakukan si G juga turut meningkat terutama ketika si G sedang stress karena tugas sekolah, permasalahan hubungan percintaan atau pun ketika terlibat cekcok dengan temannya. Selain itu, setelah menggunakan vape si G merasa  jika dirinya lebih keren, dan iya, lebih merasa tenang saat sedang tertekan ataupun banyak pikiran.

Tapi dibalik semua itu si G merasakan perasaan yang campur aduk  yang mana sangat sulit untuk di jelaskna oleh si G. G juga tahu jika tindakan yang dia lakukan akan beresiko terhadap kesehatannya karena penggunaan vape dalam jangka waktu yang Panjang, namun si G selalu menenangkan pikirannya dengan mengatakan bahwa “ vape kan ora bahaya koyo rokok biasa ..jadi tenang.. tenang “. Ada satu percakapan si G juga mengatakan dengan suara lirih, “Sak jane  aku reti yen iki ora apik... tapi uwis dadi kebiasaan,yen aku ora ngevape..malah dadi gelisah dewe.”  Dari sini terlihat, jika kalimat yang di lontarkan oleh G, menjelaskan bahwa G mengalami disonasi kognitif. Dimana G memahami bahaya pemakaian vape, namun di sisi lainnya, kebutuhan akan rasa diterima, keren dan tenang lebih dibutuhkan oleh G dalam menghadapi tekanan dalam kehidupan sehari – harinya yang membuat kebiasaan ini terus berlanjut hingga sekarang.

G juga mengatakan jika dirinya merasa bersalah terutama saat dirumah . G mengatakan jika “ kadang aku yo mesakke  delok wong tua ku seng kerjo mati – matian…tapi ora reti yen anak e koyo ngene tapi aku yo bingung..ameh mandeg ora isoh, ujarnya sambil menundukkan kepala kebawah. Ketika saya bertanya kepadanya apakah ia ingin berhenti, G menjawab dengan jujur dan menggambarkan rasa kebingungan yang dialami oleh remaja seusianya, “mau sih..Tapi jujur aku merasa belum siap dan belum tahu caranya .”

Dari pertemuan dan percakapan yang sudah kami lakukan, saya menyadari bahwa G tidak sendirian. Ternyata masih banyak remaja yang berada dalam  atau mengalami fase yang sama dengan yang dialami oleh G. Dimana mereka terjebak antara tekanan sosial, keinginan pribadi, dan kesadaran akan akibat dari tindakan dan Keputusan yang mereka ambil. Mereka bukan tidak peduli ataupun tidak takut, tapi terkadang mereka  tidak tahu harus mulai dari mana dan dengan siapa mereka bisa membagi permasalahn dan tekanan yang mereka hadapi selama ini. Banyak dari mereka justru mendapatkan penghakiman sepihak tanpa adanya pendengar dan ruang untuk mereka.

Cerita G merupakan salah satu  kisah nyata dari persoalan besar yang terjadi di masyarkat dan dihadapi banyak remaja saat ini. Dalam dunia yang serba cepat, digital  dan penuh tuntutan, banyak dari mereka mencari tempat berlindung dan rumah sesungguhnya, namun terkadang tempat  yang mereka dinamakan rumah bukanlah sebuah rumah hanya sebuah bangunan yang berdiri dan diisi oleh orang, tanpa ada keinginan untuk mengerti satu sama lain dan memahami. Tidak hanya itu saja, terkadang tempat yang memberikan mereka rasa nyaman malah membentuk kebiasaan buruk dan membahayakan untuk mereka. Melihat hal tersebut, pendekatan yang penuh dengan empati, mungkin akan mampu membuat mereka nyaman dan membuat mereka tahu apakah pilihan dan keputusan yang mereka ambil selama ini, benar atau salah. Dari situlah mereka akan menemukan cara untuk berubah dan menjadi individu yang lebih baik serta positif.

 

Daftar Pustaka

Lisnawati, Y. (2025). Konsumsi Rokok di Indonesia: Tantangan dan Strategi Pengendalian. Jakarta: Penerbit Kesehatan Nasional.

Fadholi, F., Prisanto, G. F., Ernungtyas, N. F., Irwansyah, I., & Hasna, S. (2020). Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang)11(1), 1-14.

0 komentar:

Posting Komentar