PSIKOLOGI INOVASI
"Essai 2"
Wawancara Disonansi Kognitif
Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Oleh:
Nama : Irvan Dwikurniawan
NIM : 22310410135
Wawancara: “Antara Kenyamanan dan Kesehatan: Disonansi Kognitif di Balik Makan Mie Instan”
Pewawancara (P): Terima kasih sudah bersedia diwawancarai. Boleh perkenalkan diri dulu?
Narasumber (N): Tentu. Nama saya Nawang, 24 tahun, sekarang kerja di Gunungkidul, Yogyakarta sebagai seorang pegawai negeri sipil (PNS). Saya tinggal sendiri di kosan.
P: Terima kasih, Nawang. Langsung saja, seberapa sering kamu makan mie instan?
N: Hmm… Kalau jujur ya, bisa dibilang 3-4 kali seminggu. Kadang lebih kalau akhir bulan atau kalau lagi lembur.
P: Nah, menarik. Kamu tahu nggak sih soal dampak kesehatan dari makan mie instan terlalu sering?
N: Tahu. Sangat tahu malah. Banyak artikel yang bilang mie instan tinggi natrium, pengawet, kurang gizi, bisa picu hipertensi, gangguan pencernaan, bahkan risiko penyakit jantung kalau dikonsumsi terus-menerus.
P: Tapi kamu tetap makan?
N: Iya… (tertawa kecil) Itu dia yang jadi dilema. Saya tahu ini nggak sehat, tapi tetap aja susah ditinggalin.
P: Itu sebenarnya contoh dari disonansi kognitif—saat kita punya dua pemikiran atau nilai yang saling bertentangan. Di kasusmu: kamu percaya kesehatan itu penting dan mie instan nggak sehat, tapi tetap kamu konsumsi. Apa yang kamu rasakan tiap kali makan?
N: Jujur ya, kadang ada rasa bersalah. Tapi juga ada rasa nyaman. Rasanya familiar, cepat dimasak, murah, dan bikin kenyang. Jadi kayak ada pertarungan dalam pikiran sendiri.
P: Pernah nggak mencoba mengurangi atau berhenti?
N: Pernah. Beberapa kali coba meal prep, beli sayur, masak nasi, tapi... realitanya susah konsisten. Capek pulang kerja, malas masak. Mie instan tinggal rebus 3 menit, selesai. Murah pula.
P: Jadi kamu merasa rasionalisasimu adalah soal efisiensi dan biaya?
N: Iya. Saya kadang berpikir gini: “Mending kenyang dulu, soal sehat nanti bisa olahraga atau minum vitamin.” Padahal dalam hati saya tahu itu excuse.
P: Apakah kamu merasa disonansi itu membuatmu stres?
N: Sedikit, terutama kalau habis baca artikel atau lihat video tentang pola makan sehat. Tapi kalau lagi sibuk, saya abaikan saja. Kadang denial.
P: Apa kamu pernah mencoba menyeimbangkan dengan cara lain?
N: Iya. Sekarang saya coba tambah sayur atau telur di mie seperti yang diucapkan oleh dr. Tirta pada suatu konten di media sosialnya jika menambahkan telur atau sayuran pada mie instant akan memberikan protein. Jadi. Walau saya tetap sadar, itu nggak serta-merta menjadikan mie instan jadi makanan sehat.
P: Jadi, apa yang menurutmu harus terjadi agar kamu bisa lebih konsisten meninggalkan mie instan?
N: Mungkin kalau ada alternatif yang murah, praktis, dan tetap mengenyangkan. Atau kalau punya waktu dan energi lebih buat masak. Dan, jujur aja, support lingkungan juga penting—kalau teman kos atau rekan kerja bawa bekal sehat, mungkin saya lebih termotivasi juga.
P: Terakhir, kalau kamu bisa ngomong ke “diri sendiri di masa depan”, apa yang ingin kamu bilang soal kebiasaan ini?
N: Saya mungkin akan bilang: “Kesehatanmu 10 tahun lagi ditentukan dari pilihan kecil hari ini. Nggak harus langsung sempurna, tapi jangan terus pura-pura nggak tahu.”
0 komentar:
Posting Komentar