ESAI 2 - WAWANCARA DISONASI KOGNITIF ORANG TUA
TERHADAP KEPUTUSAN MEMBERIKAN KEBEBASAN ANAKNYA BERMAIN GADGET
Oleh :
NIM : 22310410169
Dosen Pengampu:
Dr. Dra.
Arundati Shinta MA
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Yogyakarta
2025
Menurut (Widiawati &Sugiman, (2014:112) Pengguna gadget
di Indonesia ini tidak hanya digunakan pada kalangan remaja (usia 12-22), dan
dewasa atau lanjut usia (usia 22 ke atas), namun juga dikalangan usia anak-anak sekolah dasar (7-12 tahun) yang
seharusnya belum menggunakan gadget.
Proses komunikasi yang dilakukan antara orang tua dengan
anak yang sudah diberikan gadget dari mulai kalangan usia anak-anak sekolah dasar
(7-12 tahun) tersebut alasannya karena mengikuti perkembangan zaman dan kondisi
lingkungan sekitar dimana pada usia anak 7-12 sudah mempunyai keinginan untuk
mengikuti apa saja yang dimiliki dan dilakukan oleh kebanyakan teman sebayanya salah satunya
teman-teman yang sudah diberikan fasilitas gadget, kondisi ini menuntut orang
tua untuk menuruti keinginan anaknya membelikan gadget seperti teman-temannya,
walaupun tetap saja hal tersebut mengundang kekhawatiran orang tua akan efek
negatif dari penggunaan gadget terhadap keingintahuan akan semua hal dan
terutama efek bagi perkembangan anak baik secara fisik maupun mental sangat
besar, berdasarkan Cris Rowan, dalam tulisannya yang berjudul “10 reasons why
handheld devices should be banned for children under the age of 12” di
Huffington Post, menyebutkan beberapa dampak buruk gadget terhadap anak yaitu
1) pertumbuhan otak yang terlalu cepat, 2) Hambatan perkembangan, 3) Obesitas,
4) Gangguan tidur, 5) Penyakit mental, 6) Agresif, 7) Pikun digital, 8) Adiksi,
9) Radiasi, 10) Tidak berkelanjutan.
Berdasarkan data
hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) yang menggambarkan bahwa pada tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia
mencapai 143,26 juta jiwa, pengguna internet anak SMP atau sederajat mencapai
48,53 persen dan anak SD atau sederajat mencapai 25,10 persen. Angka tersebut
meningkat dibandingkan pada tahun sebelumnya, yakni tahun 2016 yang tercatat
mencapai 132,7 juta jiwa.
Berdasarkan
pemaparan yang telah dijelaskan terkait fenomena penggunaan gadget pada siswa
sekolah dasar maka teori yang digunakan yaitu teori disonansi kognitif.
Disonansi Kognitif adalah kondisi di mana seseorang menemukan diri mereka
sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui,
atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka
pegang (West & Turner, 2008:137).
Berdasarkan
perkembangan teori disonansi kognitif dalam pembelian dapat diukur dengan tiga
dimensi yaitu Emosional, Kebijaksanaan pembelian, Perhatian setelah transaksi
(Sweeney, et all, 2000:380).
Emosional
berkaitan dengan situasi psikologi intrapersonal orang tua saat melakukan pembelian,
dalam hal ini kondisi psikolog orang tua secara alami mempertanyakan apakah
tindakan untuk memberikan gadget bagi anaknya yang berusia anak sekolah dasar
itu sudah tepat. Kebijakan pembelian berkaitan dengan keputusan yang telah
dilakukan, dalam hal ini orang tua mempertanyakan apakah dia telah memberi
gadget yang benar-benar sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh anaknya .
Perhatian setelah
transaksi berkaitan dengan kekecewaan orang tua, pada kondisi ini orang tua
cenderung kurang yakin dengan keputusannya membelikan gadget untuk anaknya.
Berdasarkan asumsi teori disonansi kognitif maka dalam penelitian ini disonansi
kognitif orang tua diasumsikan sebagai salah satu penyebab yang memengaruhi
keputusan pembelian gadget untuk usia anak sekolah dasar.(Sweeney, et all,
2000:380).
Dasar teori yang
digunakan dalam wawancara ini yaitu teori disonansi kognitif dari Leon Festinger
(1957), teori ini berasumsi bahwa disonansi adalah perasaan tidak nyaman yang memotivasi
orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidanyamanan. (West dan Turner,
2008:137). Roger Brown (1965) mengatakan dasar dari teori ini mnegikuti sebuah
prinsip yang cukup sederhana keadaan disonansi kognitif dikatakan sebagai
ketidaknyamanan psikologis atau ketegangan yang memotivasi usaha-usaha untuk
mencapai konsonansi. Disonansi adalah sebutan untuk ketidakseimbangan dari
konsonansi adalah sebutan untuk keseimbangan (West dan Turner, 2008:137). Dalam
buku teori komunikasi yang dikemukakan oleh West & Tuner (2008:135) mengemukakan
empat asumsi mengenai teori ini yaitu :
1. Manusia
memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.
2. disonansi
diciptakan oleh inkonsistensi psikologis.
3. disonansi
adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan tindakan
dengan dampak
yang dapat diukur.
4. disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonasi
Pada sesi wawancara
dengan NP (41) seorang ibu rumah tangga, di sleman yogyakarta. Beliau mengalami
konflik bathin mengatakan merasa menyesal karena gawai membuat anaknya
menggunakan kaca mata, minus 6. Dan membuat si anak emosinya kurang terkontrol,
“ya gimana ya mbak, niatnya kan biar anaknya bisa komunikasi, intine pengen
nyenengke ngono lho mbak, kok malah jadi seperti ini” pungkasnya.
Beliau marah
dengan diri sendiri karena telah membuat keputusan membelikan gadget untuk
anaknya, menurutnya bahwa
dengan membelikan gadget untuk anaknya mereka akan merasa mendapat masalah yang
mengancam kesehatan anaknya, meskipun notabennya anak sekolah dasar belum
diperbolehkan menggunakan gadget karena banyaknya dampak gadget tersebut. Akan
tetapi disisi lain beliau
ingin memberikan kebahagian kepada anaknya dengan menuruti keinginan anaknya. ada
kalanya orang tua dihadapkan pada kondisi dimana perasaan yang diharapkan tidak
sesuai dengan yang didapat sehingga menimbulkan disonansi kognitif.
Disarankan bagi orang tua berharap wawancara ini dapat dijadikan bahan masukan untuk meningkatkan
kemampuan orang tua dalam membuat pilihan yang lebih cepat dan akurat Terutama
bijak dalam proses pengambilan keputusan pembelian gadget untuk anaknya yang
masih usia anak sekolah dasar bahwa sebagai orang tua akan dapat memperkecil
dampak negatif gadget bagi anak, mengingat sangat penting untuk mengawasi dan
membimbing anak dalam memberikan fasilitas seperti gadget untuk anak sesuai kebutuhan
anak tersebut.
Festinger LA.
(1957). A theory of cognitive dissonance. Evanston, IL:Row, Peterson dan
Company.
Sweeney, J.C,
Hausknecht, D, dan Soutar, G.N.(2000), Cognitive Dissonance after Purchase : A Multidimensional
Scale, Psyhology and Marketing, Vol 17.369-383.
Widiawati Iis,
H.S. (2014). Pengaruh Perkembangan Gadget Terhadap Daya Kembang Anak. Prosiding
seminar nasional multidisiplin Ilmu, Jakarta 10 Mei, 106-112.
Rahayuningsih,
Sri Utami, 2008. Psiklogi Umum 2. Bab1 Sikap (Attitude)
Handrianto P.
(2013) Dampak Smartphone (Online)
Jarot Wijanarko,
Pengaruh Pemakaian Gadget Dan Perilaku Anak Terhadap Kemampuan Anak Taman
Kanak-Kanak Happy Holy Kids Jakarta.

0 komentar:
Posting Komentar