PSIKOLOGI
INOVASI
ESAI
2 – WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
Perokok
Aktif, Akibat, dan Disonansi Kognitif
Dosen
pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA
Disusun
oleh : Maria Laras Wati Candra Sari
NIM:
22310410188
Pertumbuhan
perokok di Indonesia semakin meningkat dan tidak terlepas dari industri tembakau
yang memasarkan produknya secara bebas sampai ke warung-warung kelontong. Dengan
harganya yang murah dan lokasi yang terbilang dekat, mempermudah masyarakat
untuk membeli dan mengkonsumsi rokok.
Bagi
masyarakat Indonesia, merokok adalah hal lumrah yang dilakukan oleh kaum Adam,
namun tidak jarang, kaum Hawa juga ikut mengkonsumsi rokok. Sedangkan dampak
yang disebabkan karena merokok dapat berakibat fatal bagi individu itu sendiri
dan orang lain. Dampak yang ditimbulkan antara lain kanker, stroke, serangan
jantung, gangguan pada pernafasan, katarak, pengeroposan tulang, merusak gigi
dan kuku, dan masih banyak lagi.
Para
perokok sebenarnya mengetahui bahaya jangka panjang yang disebabkan oleh rokok itu
sendiri. Seperti yang terlihat pada kemasan rokok dengan gambar model perokok
aktif, sehingga memunculkan adanya disonansi, yaitu perilaku yang tidak konsisten
terhadap keyakinan mereka. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan
pada Kamis, 1 Mei 2025 dengan subjek seorang atlet perempuan berinisial ‘P’,
berlokasi di salah satu tempat olahraga bilyard di jalan Solo.
“Saya
tahu dampak yang ditimbulkan karena menjadi perokok aktif,” kata ‘P’. “Meski saya
riskan terkena kanker akibat merokok, namun kebiasaan ini membuat saya kesulitan
untuk berhenti, meski keinginan untuk berhenti itu ada,” ujarnya.
Ia mengaku bahwa perilaku yang menyimpang
tersebut berbanding terbalik dengan kebiasaannya berolahraga. Selain itu, kebiasaan
merokok dapat menurunkan kualitas hidup secara sosial, ekonomi, dan psikologis.
Walaupun kegiatan tersebut tampak memberikan kenyamanan, namun merokok dapat mengakibatkan
hidup seseorang menjadi redup dalam banyak aspek.
“Saya
pernah mencoba berhenti ketika saya punya anak. Dalam benak saya, seorang anak
harus dibesarkan dengan lingkungan yang bersih, untuk menunjang kesehatannya.
Namun pada kenyataannya, ketika saya sedang hang out bersama teman, dan
teman saya ini mulai merokok di depan saya, perasaan ingin merokok itu timbul.
Awalnya hanya sekedar pegang-pegang bungkusnya saja, tapi lama kelamaan tangan
saya mulai mengeluarkan rokoknya dan saya sulut. Karena mungkin hasrat dan
keinginan saya lebih besar, saya kemudian menghisap rokok lagi,” tutur ‘P’.
Ia
menambahkan, setelah merokok, muncul perasaan bersalah dan menyesal. “Eh, kok saya jadi merokok lagi, ya? Gara-gara
kalian iming-imingi rokok nih,” ujarnya kepada teman.
Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa
tekanan sosial serta paparan terhadap isyarat merokok mampu memicu perilaku
yang sebelumnya dihentikan, walaupun memiliki keinginan untuk berhenti merokok.
Munculnya perasaan bersalah dan menyesal, menjadi bukti konkret tentang
disonansi kognitif pada subjek ‘P’. Maka dari itu, fenomena tersebut menjelaskan
tentang sulitnya perubahan perilaku individu, meskipun mereka mengetahui dampak
negatif dari merokok.
DAFTAR
PUSTAKA
Fadholi, et al. (2020). Disonansi Kognitif
Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi), Vol 11, No 1,
2622-6626.
0 komentar:
Posting Komentar