8.5.25

ESAI 2-PSIKOLOGI INOVASI-WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF-MARIA LARAS WATI CANDRA SARI

 

PSIKOLOGI INOVASI

ESAI 2 – WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

Perokok Aktif, Akibat, dan Disonansi Kognitif

Dosen pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA

Disusun oleh : Maria Laras Wati Candra Sari

NIM: 22310410188

Keterangan foto tidak tersedia.

Pertumbuhan perokok di Indonesia semakin meningkat dan tidak terlepas dari industri tembakau yang memasarkan produknya secara bebas sampai ke warung-warung kelontong. Dengan harganya yang murah dan lokasi yang terbilang dekat, mempermudah masyarakat untuk membeli dan mengkonsumsi rokok.

Bagi masyarakat Indonesia, merokok adalah hal lumrah yang dilakukan oleh kaum Adam, namun tidak jarang, kaum Hawa juga ikut mengkonsumsi rokok. Sedangkan dampak yang disebabkan karena merokok dapat berakibat fatal bagi individu itu sendiri dan orang lain. Dampak yang ditimbulkan antara lain kanker, stroke, serangan jantung, gangguan pada pernafasan, katarak, pengeroposan tulang, merusak gigi dan kuku, dan masih banyak lagi.

Para perokok sebenarnya mengetahui bahaya jangka panjang yang disebabkan oleh rokok itu sendiri. Seperti yang terlihat pada kemasan rokok dengan gambar model perokok aktif, sehingga memunculkan adanya disonansi, yaitu perilaku yang tidak konsisten terhadap keyakinan mereka. Hal ini diperkuat dengan wawancara yang dilakukan pada Kamis, 1 Mei 2025 dengan subjek seorang atlet perempuan berinisial ‘P’, berlokasi di salah satu tempat olahraga bilyard di jalan Solo.

“Saya tahu dampak yang ditimbulkan karena menjadi perokok aktif,” kata ‘P’. “Meski saya riskan terkena kanker akibat merokok, namun kebiasaan ini membuat saya kesulitan untuk berhenti, meski keinginan untuk berhenti itu ada,” ujarnya.

           Ia mengaku bahwa perilaku yang menyimpang tersebut berbanding terbalik dengan kebiasaannya berolahraga. Selain itu, kebiasaan merokok dapat menurunkan kualitas hidup secara sosial, ekonomi, dan psikologis. Walaupun kegiatan tersebut tampak memberikan kenyamanan, namun merokok dapat mengakibatkan hidup seseorang menjadi redup dalam banyak aspek.

“Saya pernah mencoba berhenti ketika saya punya anak. Dalam benak saya, seorang anak harus dibesarkan dengan lingkungan yang bersih, untuk menunjang kesehatannya. Namun pada kenyataannya, ketika saya sedang hang out bersama teman, dan teman saya ini mulai merokok di depan saya, perasaan ingin merokok itu timbul. Awalnya hanya sekedar pegang-pegang bungkusnya saja, tapi lama kelamaan tangan saya mulai mengeluarkan rokoknya dan saya sulut. Karena mungkin hasrat dan keinginan saya lebih besar, saya kemudian menghisap rokok lagi,” tutur ‘P’.

Ia menambahkan, setelah merokok, muncul perasaan bersalah dan menyesal. “Eh, kok saya jadi merokok lagi, ya? Gara-gara kalian iming-imingi rokok nih,” ujarnya kepada teman.

            Dalam hal ini, dapat diketahui bahwa tekanan sosial serta paparan terhadap isyarat merokok mampu memicu perilaku yang sebelumnya dihentikan, walaupun memiliki keinginan untuk berhenti merokok. Munculnya perasaan bersalah dan menyesal, menjadi bukti konkret tentang disonansi kognitif pada subjek ‘P’. Maka dari itu, fenomena tersebut menjelaskan tentang sulitnya perubahan perilaku individu, meskipun mereka mengetahui dampak negatif dari merokok. 

          

DAFTAR PUSTAKA

Fadholi, et al. (2020). Disonansi Kognitif Perokok Aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi), Vol 11, No 1, 2622-6626.

0 komentar:

Posting Komentar